Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ada 'Jebakan Betmen' di Pasal 33 UUD45?

9 April 2015   14:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14285781481758333400

Amartya Sen: "Utilitarianisme bukanlah konsep pembagi!"

Bukan salah bapak-bapak pendiri bangsa dan perancang UUD 45 kita saat ini seperti Soekarno, Mohammad Yamin dan Soepomo bahwa ada semangat utilitarianisme dibalik pasal 33 ayat 3 UUD 45.

Pandangan utilitarianisme yang dipelopori filsuf Inggris Jeremy Bentham di abad ke-18 memang dianggap sebagai konsep sahih untuk membagi pendapatan ekonomi masyarakat. Dengan kata lain dengan me-maksimal-kan jumlah kemakmuran individual, pembagian pendapatan ekonomi masyarakat juga telah terbagi atau terdistribusi secara adil. Kesahihan pandangan ini didukung oleh para ekonom besar dunia sampai dengan pertengahan abad ke-20 seperti Alfred Marshall, Arthur Pigou, Dennis Robertson dan lain-lain.

Apa problem pandangan maksimalisasi kemakmuran a la utilitarianisme?

Menurut pemenang nobel ekonomi 1998 dan profesor Oxford asal India, Amartya Sen satu-satunya problema dengan pandangan maksimalisasi kemakmuran sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembagian pendapatan ekonomi! Otomatis, kalimat "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" di pasal 33 ayat 3 UUD 45 tidak bisa dipakai sebagai konsep acuan untuk pembagian pendapatan ekonomi di negara kita.

Kesalahan konsep "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" atau maksimalisasi kemakmuran rakyat adalah bahwa konsep ini tidak memperdulikan bahwa setiap individu tidak memiliki kemampuan yang sama untuk menghasilkan kemakmuran. Secara sederhana: jika pendapatan ekonomi negara dibagi rata secara jumlah, maka individu yang lebih "mampu" misalnya secara fisik, ekonomi, maupun tingkat pendidikan tentu akan menghasilkan "kemakmuran" atau keuntungan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang lebih "lemah" misalnya cacat fisik, lemah secara ekonomi maupun tingkat pendidikan.


Adalah suatu konsekuensi yang logis bagi pemerintah yang menganut konsep maksimalisasi kemakmuran untuk mengalokasikan pendapatan atau dana yang lebih besar kepada individu atau golongan yang lebih mampu dibandingkan kepada mereka yang lemah karena dengan demikian "jumlah total kemakmuran" akan menjadi maksimal.

Yang kuat akan semakin dapat banyak, sebaliknya yang lemah akan semakin dapat sedikit! Dan semua ini diperbolehkan oleh konstitusi...

Contoh kasus ketidakadilan: subsidi BBM eceran

Kebijakan subsidi BBM eceran adalah contoh jelas aplikasi dari pandangan utilitarianisme yang mendasari pasal 33 ayat 3 UUD 45.

Studi kementrian koordinator bidang perekonomian di tahun 2008 menyatakan bahwa 70% dari subsidi BBM eceran dinikmati oleh 40% rumah tangga dengan tingkat ekonomi tertinggi di Indonesia. Studi Bank Dunia (2009) juga mengungkapkan hal yang nyaris sama: 60% dari subsidi BBM eceran dinikmati oleh 40% rumah tangga dengan pendapatan tertinggi pada tahun 2005. Studi yang dilakukan Beaton dan Lontoh (2010) juga menyatakan bahwa pada era subsidi, minyak tanah dijual pada masyarakat berekonomi lemah di luar Jawa dengan harga 6 kali lipat dari harga subsidi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun