Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Dosen Bahasa Indonesia di Beijing

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ronda

18 Februari 2020   19:35 Diperbarui: 19 Februari 2020   19:09 3453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pos Ronda (gudeg.net)

Tak pernah kubayangkan jika pada waktu itu memergoki pembobol rumah, pencuri ternak, atau berpapasan dengan begal dan klitih. Kami para pemberani yang menjamin keamanan saat yang lain terlelap atau yang sedang bergumul di bawah kemul.

Aku pernah berjaga di sini saat masih pemuda. Aktif di karang taruna, organisasi kebanggaan desa. Bersama tetangga meronda setiap Minggu malam. 

Sebenarnya kami jarang menyebut hari Minggu malam. Kami lebih sering menyebutnya malam Senin, atau kadang bapak-bapak menambah dengan pasarannya, misal malam Senin Pahing, malam Senin Wage, dan pasaran yang lainnya.

Pemuda seumuran kami tak paham tentang penanggalan, wuku, neptu, atau istilah-istilah lain. Kami tak mengerti tentang konsep hari baik pada pernikahan atau hitungan menunjukkan arah keselamatan jika hendak pergi. 

Pada hari-hari tertentu dilarang pergi ke arah utara, melainkan harus memutar arah untuk sampai ke tempat tujuan. Meskipun tidak masuk akal kami tetap menghormati hitungan-hitungan para tetua, bahkan ayahku dan beberapa tetangga masih menyimpan buku primbon betaljemur.

Setiap malam satu kelompok ronda diisi sekitar 8 orang. Kala itu pos ronda kami masih terbuat dari kayu dan bambu. Kayu ulin sebagai tiangnya, usuknya jati, gentengnya dibuat oleh pengrajin di Godean, dan alasnya bambu.

Aku masih ingat rasanya duduk di alas anyaman bambu itu, terasa sejuk dan empuk. Terkadang kami gelari tikar supaya lebih hangat di musim penghujan.

Malam menjelang, angin melambat. Dingin semakin terasa sehingga aku selalu mengenakan sarung kotak-kotak dan jaket pemberian tentara AU. Setelah pukul 9 kubersiap kemudian datang ke pos ronda. 

Beberapa pemuda kelompok malam ini sudah datang lebih dulu. Menyapu lantainya, menggelarinya dengan tikar lampit. Seperti biasa aku datang dengan membawa buku catatan jimpitan.

Kentongan dibunyikan sesaat setelah kelompok ronda datang. Kami tahu bagaimana aturan memukul kentongan untuk memberitahukan keadaan penting dan darurat. 

Selama 4 tahun meronda aku tak pernah memukul tanda bencana banjir atau kebakaran. Pukulan titir pernah sekali kulakukan karena seseorang meninggal dunia. Selain itu aku hanya memukul irama 6-6-6 pertanda situasi aman terkendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun