Tak pernah kubayangkan jika pada waktu itu memergoki pembobol rumah, pencuri ternak, atau berpapasan dengan begal dan klitih. Kami para pemberani yang menjamin keamanan saat yang lain terlelap atau yang sedang bergumul di bawah kemul.
Aku pernah berjaga di sini saat masih pemuda. Aktif di karang taruna, organisasi kebanggaan desa. Bersama tetangga meronda setiap Minggu malam.Â
Sebenarnya kami jarang menyebut hari Minggu malam. Kami lebih sering menyebutnya malam Senin, atau kadang bapak-bapak menambah dengan pasarannya, misal malam Senin Pahing, malam Senin Wage, dan pasaran yang lainnya.
Pemuda seumuran kami tak paham tentang penanggalan, wuku, neptu, atau istilah-istilah lain. Kami tak mengerti tentang konsep hari baik pada pernikahan atau hitungan menunjukkan arah keselamatan jika hendak pergi.Â
Pada hari-hari tertentu dilarang pergi ke arah utara, melainkan harus memutar arah untuk sampai ke tempat tujuan. Meskipun tidak masuk akal kami tetap menghormati hitungan-hitungan para tetua, bahkan ayahku dan beberapa tetangga masih menyimpan buku primbon betaljemur.
Setiap malam satu kelompok ronda diisi sekitar 8 orang. Kala itu pos ronda kami masih terbuat dari kayu dan bambu. Kayu ulin sebagai tiangnya, usuknya jati, gentengnya dibuat oleh pengrajin di Godean, dan alasnya bambu.
Aku masih ingat rasanya duduk di alas anyaman bambu itu, terasa sejuk dan empuk. Terkadang kami gelari tikar supaya lebih hangat di musim penghujan.
Malam menjelang, angin melambat. Dingin semakin terasa sehingga aku selalu mengenakan sarung kotak-kotak dan jaket pemberian tentara AU. Setelah pukul 9 kubersiap kemudian datang ke pos ronda.Â
Beberapa pemuda kelompok malam ini sudah datang lebih dulu. Menyapu lantainya, menggelarinya dengan tikar lampit. Seperti biasa aku datang dengan membawa buku catatan jimpitan.
Kentongan dibunyikan sesaat setelah kelompok ronda datang. Kami tahu bagaimana aturan memukul kentongan untuk memberitahukan keadaan penting dan darurat.Â
Selama 4 tahun meronda aku tak pernah memukul tanda bencana banjir atau kebakaran. Pukulan titir pernah sekali kulakukan karena seseorang meninggal dunia. Selain itu aku hanya memukul irama 6-6-6 pertanda situasi aman terkendali.