Mohon tunggu...
Handy Chandra van AB (JBM)
Handy Chandra van AB (JBM) Mohon Tunggu... Konsultan - Maritime || Marketing || Leadership

Badai ide dan opini personal.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Provinsi Miskin, karena Sistem atau Manusia? (Sebuah Esai)

20 Februari 2021   04:56 Diperbarui: 22 Maret 2021   09:28 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dahulu, katanya hanya orang kaya yang punya Wijayakusuma. Foto: Pribadi.

Sebenarnya malas banget bicara kemiskinan, karena sejatinya manusia itu lahir ke dunia dengan kekayaan. Kalau bukan karena kekayaan cinta kasih, kita tidak akan lahir kedunia. Jika tidak ada modal buat kencan, tidak akan ada yang jatuh cinta. Kekayaan kolega dan relasi juga memudahkan terjadinya perjodohan. "So, what makes a society or peoples become poor?". 

Pagi ini, ketika mau melanjutkan mengerjakan proyek artikel ilmiah dan buku, mampir sejenak ke Kompasiana. Karena mata masih sayup-sayup terbuka, asal-asalan saja mengklik panel terbaru. Ternyata ada hal yang menarik, soal provinsi miskin.

Mohon maaf sebelumnya, kalau ada rekan-rekan Kompasianer dari provinsi-provinsi yang dikategorikan miskin. Ada dari Papua, Papua Barat, Aceh, NTT, NTB, Sumatera Selatan, dll. Kategori ini diadopsi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan pakem-pakem ilmu ekonomi modern  (terminologi lain: barat, kapitalis, monetaris, dll). 

Menurut kategori BPS (kaum monetaris/kapitalis), orang dikategorikan miskin jika pendapatan sehari (kalau tidak salah, soalnya tidak sempat cari referensi) kurang dari 4 dolar Amerika (sekitar 56 ribu Rupiah). Karena, menurut kaum monetaris, tanpa memiliki uang 4 dolar Amerika, tidak akan bisa makan secara sehat.

Karena pengkategorian itu berdasarkan sistem penilaian yang dibuat oleh kaum kapitalis/monetaris, Penulis merasakan kategorisasi itu hanya memperkaya sistem/institusi perbankan bukan sistem sosial masyarakat yang ada.

Waktu kecil, ketika masih Balita, apakah kita merasakan miskin? Tidak. Kita merasa  kaya. Kita dikelilingi kekayaan keluarga, kekayaan cinta-kasih, dan kekayaan alam (udara gratis, sinar matahari gratis, air sumur yang bersih (sekitar 20 tahun lalu), makan singkong saja tetap hidup, badan sehat, dan lain sebagainya).

Lantas mengapa setelah sekolah SD, lalu SMP dan sampai di Perguruan Tinggi rasa itu hilang? Rasa bahwa sebenarnya kita kaya. Itulah yang namanya cuci otak (brain wash), secara sistematis, sejak SD sampai Universitas. Kita diajar bahwa jika tidak punya uang (moneter, alat tukar, alat penjaga nilai kekayaan), maka kita miskin.

Karena pengajaran ini sistematis dan terstruktur, akhirnya masyarakat mentalnya menjadi "mata duitan".  Mentalitas ini karena sistem yang didisain secara terencana. Akibat dari mentalitas ini,  banyak terjadi korupsi, pembunuhan, dan kejahatan lainnya karena penyakit "mata duitan" akut.

Jadi solusinya bagaimana?

Sederhana, tapi berat untuk dilakukan : Merubah pola pikir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun