Mohon tunggu...
Handy Chandra van AB (JBM)
Handy Chandra van AB (JBM) Mohon Tunggu... Konsultan - Maritime || Marketing || Leadership

Badai ide dan opini personal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ambillah, atau Tinggalkan Saja (Perihal UKT)

5 Juni 2020   23:52 Diperbarui: 15 Juli 2020   08:33 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika tak mampu berselancar, nikmati pemandangan saja (pilihan lain). cutewallpaper.org

Sebenarnya ini cerita lama, alias lagu lama. Masalah uang kuliah. 

Dahulu namanya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan), sekarang namanya UKT (Uang Kuliah Tunggal). Lalu jadi rame diskusi di Kompasiana soal UKT, yang katanya mahal. Jadi kepo juga. Baca-baca tulisan kompasianer, eh .... jadi pingin menulis dan berbagi wawasan.

Untuk yg suka detail, silakan baca tulisan dari  kompasianer warkasa1919. Tulisannya menghibur, tetapi informatif.

Tanpa panjang lebar, berikut opini dan pengalaman personal. Semoga memberikan wawasan baru (buat para pemuda/i)

Pertanyaan Pokok: Kenapa Harus Kuliah?

Hidup itu pilihan. Pepatah ini tua tetapi solid. Kokoh melewati jaman karena memang terbukti sahih. Banyak pakar, banyak pengalaman telah membuktikan bahwa pilihan itu ada di tangan manusia per individu. 

Memang pilihan individu sering dilindas oleh pilihan mayoritas (lingkungan). Tapi manusia sukses selalu punya pilihan sendiri. Steven Shih, sang pendiri perusahaan komputer merek Acer, memiliki motto : me too is not my style. Dia sukses memajukan perusahaan tersebut dengan mottonya tersebut. Tahun 1990an merek Acer adalah jaminan bagus buat perangkat komputer, laptop dan lainnya. Sampai saat ini, mungkin CEO Acer sudah bukan beliau. Tapi produk Acer masih beredar, termasuk laptop yg saya pake buat menulis.

Kembali ke pokok pertanyaan: kenapa harus kuliah? Banyak alasan. Silakan buat daftar sendiri. Pengalaman personal, dulu waktu mau kuliah, pilihan saya masuk ke Jurusan Teknik Kelautan, yang adanya cuma di ITS, Surabaya. Alasannya lapangan pekerjaan yang masih jarang, sehingga bisa memperoleh pekerjaan lebih mudah. 

Soal biaya, saya tanya ke orang tua, apakah bisa membiayai kuliah? Saat itu, biaya SPP Rp. 120 ribu per semester (tahun 1991). Biaya kost, buku, dll butuh sekitar 800 ribu sebulan. Gaji almarhum Papi saat itu sekitar 1,5 juta per bulan, sebagai pegawai Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Irian Jaya. Adik saya ada tiga dan masih SMA, SMP, dan SD. Belum dihitung biaya hidup, dan lainnya.  Berat buat orang tua.

Akhirnya saya ganti pilihan, karena faktor itu. Pilihan pindah ke Ujung Pandang (sekarang Makassar), ambil jurusan teknik Sipil, lebih murah dan juga karena banyak saudara orang tua, jadi bisa hemat banyak. 

Sakit hati. Iya lah. 

Masih muda, semangat tinggi, otak lumayan, tapi realita tidak sama seperti khayalan. Terimalah nasib. Titik.

Tetapi, diam-diam, jujur saya tidak diberitahu sama sekali, Papi saya bergerilnya mencari beasiswa dari Pemda Irian Jaya (nama lama Papua). Singkat cerita, saya diterima. Ndilalah, ada jurusan Teknik Kelautan yang bisa dipilih.  Rejeki yang diluar nalar. Puji Tuhan.

Lulus kuliah S1, bisa dapat kerja cepat di galangan kapal. Dua tahun setelah lulus S1, lanjut S2 dengan biaya sendiri. Akhirnya bisa selesai S3, juga dengan biaya pribadi. Semuanya dihitung, dengan detail dan dengan analisis realita. Berapa untung ruginya? Kalau rugi saya tidak kuliah. Tapi karena untung, ya saya ambil. Sederhana.

Prinsip serupa, saya terapkan untuk pendidikan di luar negeri. Kalau bayar sendiri, saya gak mau, jelas-jelas rugi.

Saya beruntung sempat training di National Taiwan University di Taiwan, lalu ke Twente University di Belanda, University of Miami di USA, dan Wageningen University di Belanda, semua dengan beasiswa penuh (full scholarship). Jelas-jelas untung. Sederhana sekali.

Tuhan memberikan mata, telinga, indera lainnya, dan terutama otak, untuk dipakai maksimal mengevaluasi realita. Jikalau tidak mampu, jangan paksakan diri. Adaptasilah. Sakit sedikit (gengsi dan egonya), tapi sehat dalam jangka panjang.

Kisah-kisah Klasik dan Penutup

Bob Sadino (almarhum) yang merupakan pengusaha besar, justru bukan orang kuliahan, apalagi sarjana. Tapi dia mempekerjakan lulusan S1 dan S2. Jadi, intinya kita akan tetap hidup, asalkan mensyukuri takdir dan mau berusaha.

Kenal dengan Sudono Salim (almarhum)? Mungkin anak millenial jarang yang tahu. Dia adalah pendiri dan pemilik PT. Indofood Tbk, yang salah satunya membuat produk mi instant, Indomie. Dia cuma lulusan SD, tapi mau menerima realita hidup, dan berjuang untuk berhasil. Akhirnya sukses juga.

Singkat kata, kadang realita itu pahit. Terima saja. Kalau keberatan bayar biaya UKT, tidak usah kuliah. Tidak usah ribut-ribut dan protes-protes, buang energi dan waktu. Cari alternatif B, dan tetap berusaha keras buat kesuksesanmu.

Saran saya buat yang mau kuliah: Jika tidak mampu (secara finansial, dan belum dapat beasiswa), tinggalkan saja ambisimu. Siapa orang yang tahu takdir di depan? Tidak ada. Siapkan rencana B.

Jangan memberatkan hidupmu dengan khayalan. Hiduplah berdasarkan realita.

If you can't take it, leave it. So ... Simple.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun