Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sukses Karena Asongan

20 September 2013   15:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:37 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_289637" align="aligncenter" width="640" caption="Berhasil meraih sarjana karena jadi pedagang asongan"][/caption]

Tidak ada orang yang ingin dilahirkan sengsara atau miskin. Andaikan bisa memilih kehidupan, tentu kita akan memilih kehidupan yang serba kecukupan. Tak harus pula kita mengeluarkan keringat yang bercucuran. Namun, di sini pula hebatnya Tuhan meletakkan kuasa dan kehebatan-Nya. Sengaja Tuhan menciptakan segalanya serba berpasang-pasangan agar pasangan itu bertemu dan saling berbagi sehingga tercipta kehidupan nan harmonis. Indahnya kehidupan manakala itu bisa tercipta.

Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, mestinya saya bisa menikmati kehidupan yang berkecukupan alias bahagia. Mestinya saya disayang, dibelai, dan dibelikan segala keinginan oleh orang tua dan empat kakakku. Sayangnya, justru saya terkesan ditelantarkan oleh beragam sikap orang tua dan keempat kakakku. Kondisi itu teramat terasa ketika saya menimba ilmu di IKIP Yogyakarta 1991-1997 silam. Pengalaman kehidupan yang takkan mungkin terlupakan.

Semenjak ayah pensiun sebagai guru SD 1992, sontak penghasilan keluarga terbatas. Ayah dan ibu harus benar-benar mahir mengatur keuangan keluarga agar tidak kacau. Demi mencukupi kebutuhan keluarga, ayah berusaha menggarap sawah dan ibu membantunya. Meskipun telah berusaha keras, ayah tetap kewalahan mencukupi kebutuhan. Akhirnya, jatah uang bulananku dikurangi, dari Rp50.000 menjadi Rp20.000 per bulan. Mengetahui keputusan ayah demikian, saya hanya bisa menangis. Namun, ibu langsung menghiburku agar saya tabah dan tetap semangat belajar. Ibu menyuruhku tetap melanjutkan kuliahku. Sambil menahan derai air mata, saya berpamitan untuk kembali ke Yogyakarta. Dengan mencium lembut di pipiku, ibu berkata“Kamu pasti bisa lulus, Le. (le, b.Jw = sebutan sayang untuk anak laki-laki)

Di Yogyakarta, saya bingung dengan uang Rp20.000. Untuk apa uang sekecil itu sedangkan saya harus membayar beragam iuran kelas, seperti pengetikan makalah, penggandaan makalah, dan revisi makalah sebelum dikumpulkan ke dosen. Akhirnya, saya hanya bisa menangis di kamar kos yang sempit. Sayup-sayup kudengar pintu kamar dibuka dan ternyata teman kamar sebelah menjengukku. Melihatku menangis, temanku tidak langsung bertanya. Saya dibiarkan menangis hingga akhirnya saya diam. Barulah dia bertanya alasanku menangis. Dengan suara parau dan menahan air mata, saya bercerita tentang kondisi keluargaku dan keuanganku. Setelah mendengar ceritaku, temanku menawariku untuk berjualan gantungan kunci.

Iya, temanku mengajak berjualan souvenir gantungan kunci yang dibeli dari pengrajin dengan harga Rp1000 dapat empat dan dijual Rp1000 dapat tiga. Barang itu dibuat dari kayu dan dibentuk mirip buah-buahan. Meskipun tampak sederhana, souvenir itu terlihat sangat bagus. Akhirnya, saya pun menerima tawaran itu. Lalu, kami pun mulai menjual barang-barang itu ke beberapa tempat wisata di daerah Yogyakarta, seperti Malioboro, Pantai Parangtritis, Kebun Binatang Gembiraloka, dan Tamansari. Pada awalnya, saya canggung berteriak-teriak menjajakan barang-barang itu karena belum terbiasa. Kadang saya harus naik-turun bus pariwisata. Sering pula saya harus berjalan-jalan sepanjang pantai atau Jalan Malioboro itu. Berkat keuletan dan semangat, akhirnya saya mulai menikmati hasilnya. Tak lagi saya mengalami kekurangan uang saku. Penghasilanku sebagai pedagang asongan sudah melebihi kebutuhanku sehingga saya malah bisa menabung.

Di setiap kampus, setiap awal semester pasti diadakan regristasi mahasiswa baru dan heregristasi mahasiswa lama. Pada waktu itu, semua data harus diketik. Bermodal uang tabungan tadi, saya membeli mesin ketik kecil. Saya pun mulai berbaur dengan beberapa tukang ketik musiman di depan loket. Saya menawarkan jasa pengetikan itu di hampir semua kampus di Yogyakarta, seperti IKIP Yogyakarta, UGM, IAIN, AKPRIND, STIEYO, STIE/ AA YKPN, UPN, dan UII. Tarif untuk mengetik kartu mahasiswa sebesar Rp200 dan Kartu Rencana Studi (KRS) sebesar Rp500. Saya juga menjual stopmap dan metrei. Berkat keuletan dan kerja keras, saya bisa mendapat keuntungan bersih tak kurang dari Rp 10.000 per hari.

Naluriku sebagai pebisnis makin terasah. Saya mulai melirik usaha buku-buku yang berisi kumpulan soal-soal Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Maka, saya memberanikan diri untuk menjadi penjual kepada seorang pedagang besar. Alhamdulillah, saya dipercaya oleh pedagang besar tanpa harus menyediakan jaminan. Berbekal kepercayaan itu, saya menjelajahi beragam perguruan tinggi negeri se-DIY dan Jateng saat pendaftaran UMPTN. Saya pernah menjual buku-buku prediksi UMPTN itu ke Universitas Diponegoro (UNDIP) Kampus Tembalang Semarang, UNS Solo, UGM, dan IKIP Yogyakarta. Berkat kerja keras, saya berhasil mengumpulkan uang yang sangat banyak. Maka, saya pun tertarik untuk membeli computer jangkrik, televisi berwarna, kasur busa, karpet, dan menyulap kamar kos ukuran 3x4 meter itu menjadi istanaku. Saya bahagia sekali…!!

Kebahagiaanku itu harus dibayar mahal. Nilai atau Indeks Prestasi (IP)-ku sangat jelek. Saya sempat dimarahi oleh Dosen Pembimbing Akademik, Profesor. Dr. Sri Hastuti karena terlalu banyak mendapat nilai C dan D. Saya hanya terdiam dan tak bisa membantah. Saya hanya berjanji untuk belajar lebih keras. Saya mengakui bahwa saya sering membolos karena harus berjualan. Saya harus mengambil keputusan itu karena keadaan memaksaku. Hingga saya lulus dan meraih predikat sarjana pendidikan, saya hanya mampu meraih Indeks Prestasi (IP) di transkrip 2,7. Tak apalah….

Pada tahun 1998, pemerintah membuka pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Guru. Saya tertarik untuk mengikutinya meskipun kuota guru bahasa Indonesia hanya 2 orang. Tak disangka, pendaftar calon guru bahasa Indonesia mencapai 428 orang. Itu berarti bahwa perbandingannya mencapai 1:214. Berbekal pengalaman membaca buku-buku soal tes dan bersikap jujur, saya nekad saja. Hasilnya sungguh luar biasa. Pada 1 Maret 1999, saya dinyatakan diterima. Bahkan, saya menjadi peraih peringkat pertama. Karena menjadi peringkat pertama, saya ditempatkan di SMA Negeri 1 Tangen, Kabupaten Sragen.

[caption id="attachment_289638" align="aligncenter" width="640" caption="Tahun 2010, saya berhasil menyelesaikan pendidikan magister."]

13796658451825910361
13796658451825910361
[/caption]

Prestasi berlanjut. Pada 2008, saya meneruskan pendidikan ke jenjang magister di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Pada tahun 2009, di sela-sela kuliah, saya mengirim naskah buku Juara Pidato ke Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan 2009. Tak disangka, naskah itu dinobatkan sebagai juara 1 nasional. Pada tahun 2010, saya lulus dan bahkan diminta berpidato di hadapan puluhan profesor, ratusan doktor, dan ribuan wisudawan. Kini, mantan pedagang asongan itu sedang merenda meretas asa untuk menyelesaikan pendidikan doktoralnya.

Kepandaian intelektual tanpa diimbangi kematangan berpikir ibarat pisau tajam di tangan si buta. IP tinggi itu baik, tetapi harus diimbangi dengan kedewasaan berpikir. Kedewasaan berpikir akan terbentuk dan terbangun manakala sering berhadapan persoalan-persoalan hidup dan berusaha keras mengatasinya. Lapangan kerja tersedia di mana-mana, tetapi si pintar sudah dibutakan oleh gengsi karena tak pernah menikmati persoalan-masalah hidup. Ingat baik-baik bahwa masalah bukan untuk dihindari melainkan dicarikan solusi!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun