Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Orang Tua Konyol

10 Oktober 2012   05:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:00 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1349847010535815147

[caption id="attachment_217253" align="aligncenter" width="624" caption="Senang saya diberi kesempatan untuk berbagi gagasan di Radio Suara Edukasi."][/caption]

Jika ingin membangun rumah atau bangunan tinggi, tentu kita harus menyiapkan segala bahan dan alat. Semakin kompleks jenis bangunan yang akan didirikan tentu semakin banyak pula bahan dan alat yang perlu disiapkan. Jika bangunan tinggi itu dibangun dengan bahan dan alat seadanya, tentu bangunan itu tak mungkin kokoh. Dibangun dengan bahan dan alat yang canggih saja bangunan masih bisa roboh, apalagi bangunan itu sekadar berdiri. Dan tukang batu adalah orang yang paling tahu tentang kebutuhan bahan dan alat yang diperlukan untuk mendirikan bangunan tersebut. Lalu, apa hubungannya tukang batu dengan orang tua konyol?

Hari ini, Rabu (10 Oktober 2012), jam 10.30-11.30, saya diminta untuk menjadi narasumber dalam Talk Show Live by Phone dengan Radio Suara Edukasi Kemendikbud. Beberapa hari lalu saya dihubungi oleh Pak Valentino melalui telepon. Pak Valentino mengabarkan bahwa saya diminta untuk menjadi narasumber pada dua siaran Talk Show on Air Radio Suara Edukasi Jakarta. Siaran langsung pertama disiarkan pada Senin (8 Oktober 2012) yang mengangkat topik Tawuran Remaja Adalah Tanggung Jawa Kita Bersama. Siaran langsung kedua dilaksanakan pada hari ini, Rabu (10 Oktober 2012) yang mengangkat tema Peran Keluarga dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja.

Pada kesempatan itu, saya menjelaskan hubungan tawuran pelajar atau remaja dengan pendidikan informal dalam keluarga. Menurutku, kenakalan remaja dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari tiga faktor tersebut, keluarga merupakan faktor kunci untuk pembentukan karakter anak. Mengapa?

Orang tua (baca: kita) sering menyalahkan sekolah atau pihak lain jika terjadi tawuran atau kenakalan remaja. Orang tua ini berpendapat bahwa sekolah mestinya memantau perilaku anak. Orang tua macam ini berpendapat bahwa dirinya sudah merasa membayar mahal biaya sekolah anaknya. Oleh karena itu, menurut orang tua ini, mestinya sekolah bertanggung jawab jika anak melakukan tindakan atau perilaku-perilaku tak terpuji, termasuk tawuran. Benarkah anggapan orang tua yang demikian?

Menurutku, anggapan ini adalah pendapat orang tua yang konyol. Orang tua ini tidak memerhatikan faktor-faktor penyebab terjadinya tawuran dan berusaha berkelit atau menghindari tanggung jawabnya sebagai orang tua. Meskipun ia telah membayar mahal biaya pendidikan anaknya, itu tak boleh menjadi alasan pembenaran atas pendapatnya tersebut. Mengapa?

Cobalah diperhatikan lingkungan rumahnya. Berapa jam sehari ia bertemu dan berbincang-bincang dengan anak-anaknya? Mungkin teramat langka dan jarang orang tua di perkotaan yang memiliki waktu cukup untuk memberikan perhatian kepada anak-anaknya. Banyak orang tua berangkat kerja ketika anaknya masih tertidur dan tak sedikit orang tua pulang kerja ketika anaknya sudah tertidur. Lalu, bagaimana mungkin orang tua mengetahui perkembangan pendidikan anaknya?

Menurutku, kemiskinan perhatian orang tua menjadi penyebab utama terjadinya kenakalan remaja. Anak-anak itu memerlukan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya. Anak-anak tidak hanya menginginkan kasih sayang yang sering diwujudkan uang atau barang. Namun, anak-anak itu membutuhkan belaian kasih sayang dan kecup kening ketika akan berangkat ke sekolah dan sepulangnya. Ketika tidak mendapatkan kasih sayangnya, anak-anak itu berusaha mencari orang lain yang bersedia memberikan perhatian. Dan anak-anak itu salah pilih orang!

Berkenaan dengan itu, saya berpendapat bahwa orang tua dapat diibaratkan sebagai tukang batu yang akan mendirikan bangunan tinggi. Oleh karena itu, tukang batu harus pandai dan mahir mengestimasikan kebutuhan agar bangunan itu dapat terwujud seperti gambarannya. Jika tukang batu itu justru menyerahkan perhitungan bangunannya kepada pihak lain, yakinlah bahwa bangunan itu tak mungkin terwujud seperti gambar yang diinginkannya.

Janganlah kita menjadi orang tua konyol yang selalu berdalih sibuk bekerja mencari nafkah. Buat apa kita memiliki banyak uang tetapi anak-anak kita nakal dan justru membunuh nama baik kita. Cobalah kita berpikir bijak bahwa anak-anak kita berada di sekolah rerata 6 jam per hari. Selebihnya, anak-anak itu (seharusnya) berada di rumah. Apa lacur, orang tuanya masih bekerja dan hanya pembantu yang menyambut kepulangan sang anak. Maka, di sinilah, anak-anak itu mencari teman. Jika berteman dengan anak yang baik, tentu itu tak akan menjadi persoalan. Namun, sungguh teramat berbahaya jika anak-anak kita salah memilih teman!

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun