Mohon tunggu...
Johanes Tarigan
Johanes Tarigan Mohon Tunggu... Konsultan - Pelajar dan Penyuka Politik

Pelajar dan Penyuka Politik ||Pelajar dan Penyuka Politik||

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Di Saat Ibu Jari Menjadi Kunci Masuk Bui

27 Oktober 2018   20:46 Diperbarui: 27 Oktober 2018   21:52 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan zaman tentunya adalah suatu hal yang tidak dapat dihentikan, dan akan terjadi secara terus menurus, bahkan mungkin tak akan ada batasnya. Perkembangan zaman, terutama perubahan gaya hidup, sangat dipelopori dengan perkembangan teknologi. Teknologilah yang menjadi penggerak perubahan.

Namun, perubahan yang terjadi tidak selalu bergerak ke ranah yang positif. Terkadang ia juga bergerak ke ranah yang cenderung lebih negatif. Munculnya tindakan kriminal yang digolongkan sebagai cybercrime atau kejahatan siber menjadi salah satu hasil dari perkembangan zaman. 

Berkembangnya jenis-jenis kejahatan atau tindakan kriminal ini kemudian harus diikuti oleh perubahan dan perkembangan terhadap regulasi serta peraturan yang mengatur tindakan masyarakat, yang mana dalam hal ini adalah undang-undang.

Undang-undang No. 11 Tahun 2008 atau yang lebih sering dikenal sebagai undang-undang ITE adalah salah satu produk dari berkembangnya zaman. Di masa sekarang ini, tindakan kejahatan tak hanya terjadi di dunia fisik, melainkan juga terjadi di dunia maya. 

Sehingga diperlukan suatu badan hukum yang mengikat, dengan tujuan agar setiap orang yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan suatu tindak pidana di dunia maya dapat didekam dalam tahanan.

Undang-undang ITE secara umum mengatur tentang prosedur operasional standar bagi pemerintah dalam melakukan penyidikan maupun tindakan institusi lain yang berhubungan dengan teknologi serta hal-hal yang dilarang untuk dilakukan masyarakat saat menggunakan teknologi. 

Seluruh perbuatan yang dilarang ini digabungkan ke dalam bab 7, namun kajian dari tulisan ini hanya akan berorientasi seputar pasal ke 27, tepatnya ayatnya yang 3. 

Pasal tersebut menyebutkan bahwa "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" telah melakukan suatu bentuk perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

Secara kasat mata, pasal ini terkesan melindungi semua pihak dari kata-kata yang tergolong mencemarkan nama baik. Akan tetapi, pasal ini disebut-sebut sebagai pasal karet, yang berarti sangat rawan untuk dieksploitasi. Mengapa demikian? Di dalam undang-undang tersebut terkandung frasa "muatan dan/atau pencemaran nama baik." Tindakan ini memang tidak dirinci di dalam undang-undang ITE, namun perbuatan sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal ini diatur di dalam pasal 310 sampai pasal 315 KUHP. 

Secara umum, tindakan yang dimaksud berupa melayangkan tuduhan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan tertentu yang memalukan, dengan maksud agar hal tersebut dapat tersiar. Perbuatan yang dituduhkan dapat hanya berupa perbuatan biasa yang tidak melanggar hukum, namun tetap mempermalukan orang tersebut. 

Selain itu, berdasarkan pasal 310 KUHP, hukum mengenai penghinaan di Indonesia tidak mempertimbangkan sama sekali apa bila ujaran tersebut berisikan fakta, opini atau bahkan fitnah.

Apabila ujaran memuat konten yang dianggap menyerang, menghina, mencemarkan nama baik, atau menumbuhkan rasa kebencian terhadap orang yang menjadi orientasi pembahasan maka ujaran tersebut sudah tergolong penghinaan atau pencemaran nama baik.

Ketentual pasal 310 dalam kitab undang-undang pidana inilah yang membuat pasal 27 ayat 3 ini menjadi pasal karet. Pasal tersebut menyatakan bahwa ujaran yang mencemarkan nama baik seseorang, baik berisikan fitnah maupun fakta, digolongkan sebagai suatu tindak pidana. 

Secara tidak langsung, pasal ini telah menjadi antithesis untuk Hak Asasi Manusia yang telah lama dianut di bumi Indonesia. Orang-orang akan tak akan bebas dalam melayangkan suaranya, bahkan jika ia menyebarkan suara kebenaran. 

Bahkan, tak sedikit orang yang sadar bahwa pasal ini akan menjadi senjata yang sangat ampuh untuk para politisi dalam menyingkirkan rival politiknya. Baik penyuara kebenaran tersebut adalah orang kecil maupun orang-orang besar mereka sama sama dapat dipidana, bila objek ujaran mereka merasa terhina. 

Pun demikian, orang-orang besar, yang menyangkut para politisi besar, konglomerat, serta artis-artis 'lugu' yang berdalil ingin terjun ke politik untuk mengabdi, tentunya telah mempunyai sederet nama pengacara serta barisan massa dari berbagai kalangan, yang siap terjun untuk mengamankan orang yang mereka junjung.

Lain cerita bagi rakyat biasa, yang sesekali berceloteh tentang politik, dan menjadi pihak yang benar-benar merasakan dampak dari segenap putusan pemerintah sering menjadi korban dalam hal ini, mereka seakan menjadi objek eksploitasi dari pasal ini.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, pasal ini sangat rawan dieksploitasi dan bahkan bersifat membungkam kritik yang dilayangkan oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah kasus Fadli Rahim, seorang PNS di kabupaten Gowa. Pada saat itu, Fadli menyatakan kekesalannya terhadap pemkot Gowa, terutama pada bupati Gowa dalam sebuah grup Line. 

Pada hakikatnya, grup Line tersebut sering ditafsirkan sebagai suatu ruang yang bersifat privat, sehingga penyebaran di dalamnya tidak dapat digolongkan sebagai penyebaran di muka umum. 

Akan tetapi, hal inim merupakan suatu hal yang kurang tepat, karena jika sudah disampaikan kepada orang lain, maka hal tersebut sudah dapat digolongkan sebagai penyebaran di muka umum. Yang menjadi perhatian adalah fakta bahwa pernyataan-pernyataan yang dilayangkan oleh Fadli bersifat murni kritik terhadap bupati, dan bukan merupakan penyerangan terhadap pribadi bupati, karena ia tidak sekali pun menyebutkan nama bupati. 

Selain itu, timbul pemahaman bahwa tindakan memproses ujaran Fadli secara hukum adalah tindakan yang membatasi kebebasan berekspresi, lebih lagi tujuannya baik, yaitu uyntuk memberika peringatan kepada pemerintah agar dapat bertindak lebih baik lagi. Namun, hal ini dipandang berbeda oleh Bupati Gowa, Ichan Limpo. Ia memandang ini sebagai bentuk pencemaran terhadap nama baik dirinya.

Yang harus menjadi perhatian adalah, bagaimana nantinya bila kalangan politisi yang menjadi penggerak kebijakan ini merasa terhina dengan kritik yang dilontarkan oleh orang-orang yang dahulu menempatkan mereka di posisi sekarang? Hal tersebut akan berujung pada kemunduran, terutama kemunduran dalam proses demokrasi yang telah lama dirintis oleh Bangsa Indonesia. 

Pasal ini memang dibuat untuk tujuan yang baik, namun pelaksanaannya dapat berakibat pada kemunduran bangsa. Terutama, aspek utama dalam berdemokrasi, check and balance, tak akan mampu dijalankan lagi, karena semua pihak takut terhadap kekuatan serta pengaruh dari para kalangan yang antikritik. 

Mereka tak akan lagi berani berucap atau bahkan mencantumkan butir-butir pemikiran mereka di dalam sosial media, yang digadang-gadang menjadi alat untuk memajukan demokrasi. Karena, ibu jari mereka telah menjadi kunci yang telah dilumasi kuasa dari kalangan antikritik 'tuk bui.

-Ini adalah pendapat saya, tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak manapun. Data terkait kasus yang diangkat saya peroleh dari ICJR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun