Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah dengan Empati yang Berlebihan

20 September 2021   01:56 Diperbarui: 20 September 2021   02:17 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sering melihat mereka yang berempati sebagai orang yang berbudi luhur. Kajian-kajian menunjukkan bahwa tindakan amal sering diarahkan oleh empati ketimbang alasan, dan ini tidak begitu berbudi luhur.

Badan amal yang membantu ribuan anak kelaparan di negara yang jauh tidak akan sama sukses dengan mengajak orang-orang membagikan uang mereka sebagai amal untuk anak-anak kelaparan yang teridentifikasi di Inggris. 

Kita bisa mengabaikan penderitaan ribuan orang demi korban yang kita kenal. Ini disebut "efek korban yang bisa diidentifikasi." Akibatnya, kita mungkin tidak begitu efektif dalam tindakan amal kita. Alasan dan rasionalitas tampaknya tidak diprioritaskan.

Sudah diketahui umum bahwa ada orang-orang yang menggunakan "efek korban yang bisa diidentifikasi" untuk keuntungan mereka, memberikan retorika 'mereka' dan 'kita' yang merusak. Mereka menggunakan kecenderungan orang-orang untuk berempati dengan mereka yang lebih dekat dengan rumah dan lebih dekat dengan diri mereka sendiri untuk menggalang dukungan. 

Kita ingin melindungi mereka yang berada dalam negeri ketimbang mereka yang tidak kami kenal. Oleh karena itu, empati terkadang bisa membuat mata kita tertutup.

Terlalu Banyak Empati
Walaupun kebahagiaan bersama diinginkan, berbagi rasa sakit orang lain tidak demikian. Beberapa kali dalam hidup kita, kita merasa terbebani dengan kesedihan orang lain. Dibebani dengan penderitaan orang lain menghilangkan kebaikan apa pun yang berasal dari empati, dan itu melemahkan. Apa yang kita rasakan adalah sebuah "distres empatetik." Alih-alih ikut merasakan sakit orang-orang lain secara positif, di mana kita didorong untuk melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka, "distres empatetik" menekan tindakan apa pun.


Distres yang tidak perlu ini berfungsi sebagai penghalang untuk tindakan apa pun, yang buruk bagi kesehatan dan menyebabkan perasaan putus asa dan apatis. Oleh karena itu, orang yang bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk membantu korban, menempatkan dirinya di tempat di mana dia diliputi perasaan. Menjadi terlalu empatetik adalah ketika empati tidak mulia atau tidak berguna, tidak efektif dan merugikan.

Membayangkan bagaimana perasaan orang-orang lain dengan menempatkan diri kita pada posisi mereka adalah baik, tetapi kita harus sadar bahwa empati memiliki masalah. Kita harus menyadari bias kita sendiri ketika berempati dengan dunia. Tidak perlu selalu menempatkan diri kita dalam situasi orang-orang lain untuk membantu mereka, kita hanya perlu peduli.

Kepustakaan
1. Sidhu, Kiran, The Problem with Empathy, Planet Mindful, March - April 2021, hlm. 34-35.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 20 September 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun