Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah dengan Empati yang Berlebihan

20 September 2021   01:56 Diperbarui: 20 September 2021   02:17 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: https://cnn.it/2ZeeIfa

Apakah tentu hanya bisa menjadi hal yang baik jika kita berempati dengan orang lain? Tidak selalu demikian.

Ilustrasi. Sumber: Planet Mindful, March - April 2021, hlm. 34-35.
Ilustrasi. Sumber: Planet Mindful, March - April 2021, hlm. 34-35.

Bagi sebagian orang, mungkin tampak kontroversial jika mengatakan bahwa empati dinilai terlalu berlebihan, seperti mengatakan bahwa memiliki hati nurani dinilai terlalu berlebihan. Jadi di mana kita akan berada, jika kita membiarkan hati nurani kita mengambil jeda?

Orang-orang yang melakukannya dianggap tidak baik, karena begitu penting bagi kita untuk memiliki hati nurani agar mengarahkan kita berbuat baik.

Kita mengandalkan empati dan kesadaran orang lain untuk membuat penilaian yang baik dan memahami sisi kemanusiaan satu sama lain. Jadi bagaimana empati, kemampuan untuk membayangkan diri sendiri pada posisi orang lain itu, bisa dianggap berlebihan dan merugikan? Tentu saja nilai empati tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, kita ingin memberitahu seseorang.

Kita memfoto matahari terbenam karena kita ingin seseorang merasakan kegembiraan yang sama dengan melihatnya. Ada pekerjaan di mana memiliki empati dalam dosis besar merupakan prasyarat: guru, dokter, dan pekerja sosial. Empati membuat hidup lebih mudah, hanya ketika kita memahami bahwa kebutuhan kita bisa dipenuhi. Lebih sedikit ketidakcocokan dan perselisihan dalam hidup jika ada empati. Empati adalah kebutuhan manusia untuk diidentifikasi. Namun, pertimbangkan kata-kata "Aku tahu bagaimana perasaanmu."

Kata-kata itu sering dianggap paling menghibur jika diucapkan kepada seseorang yang sedang menderita. Kita ingin perasaan kita diakui oleh seseorang, kita ingin diberitahu bahwa kita akan baik-baik saja dan semuanya akan menjadi lebih baik. Kita mencari hiburan dalam wawasan dan pengalaman yang sama dari orang-orang lain. Kita hanya bisa benar-benar mempercayai mereka jika mereka juga pernah mengalami apa yang kita alami, bukankah demikian?

Ketika Empati Menjadi Rumit
Bisakah kita benar-benar berempati dengan orang lain? Pengalaman seseorang adalah unik bagi dirinya sendiri. Sejarah masa lalu, keadaan sekarang, dan segudang faktor lain  memperumit sebuah pengalaman seorang individu. 

Pada saat-saat paling traumatis dalam hidup, kita tidak selalu menemukan kenyamanan dalam "Aku tahu bagaimana perasaanmu." Ini berarti bahwa keunikan pengalaman kita telah diambil. 

Pengalaman hidup tidak selalu terasa sama, tetapi disaring melalui ayakan unik kita sendiri. Singkatnya, hal yang sama bisa terjadi pada seseorang yang Anda kenal, tetapi terasa benar-benar berbeda. Hal ini mungkin terdengar jelas, tetapi merupakan sebuah fakta yang sering diabaikan.

Kita sering melihat mereka yang berempati sebagai orang yang berbudi luhur. Kajian-kajian menunjukkan bahwa tindakan amal sering diarahkan oleh empati ketimbang alasan, dan ini tidak begitu berbudi luhur.

Badan amal yang membantu ribuan anak kelaparan di negara yang jauh tidak akan sama sukses dengan mengajak orang-orang membagikan uang mereka sebagai amal untuk anak-anak kelaparan yang teridentifikasi di Inggris. 

Kita bisa mengabaikan penderitaan ribuan orang demi korban yang kita kenal. Ini disebut "efek korban yang bisa diidentifikasi." Akibatnya, kita mungkin tidak begitu efektif dalam tindakan amal kita. Alasan dan rasionalitas tampaknya tidak diprioritaskan.

Sudah diketahui umum bahwa ada orang-orang yang menggunakan "efek korban yang bisa diidentifikasi" untuk keuntungan mereka, memberikan retorika 'mereka' dan 'kita' yang merusak. Mereka menggunakan kecenderungan orang-orang untuk berempati dengan mereka yang lebih dekat dengan rumah dan lebih dekat dengan diri mereka sendiri untuk menggalang dukungan. 

Kita ingin melindungi mereka yang berada dalam negeri ketimbang mereka yang tidak kami kenal. Oleh karena itu, empati terkadang bisa membuat mata kita tertutup.

Terlalu Banyak Empati
Walaupun kebahagiaan bersama diinginkan, berbagi rasa sakit orang lain tidak demikian. Beberapa kali dalam hidup kita, kita merasa terbebani dengan kesedihan orang lain. Dibebani dengan penderitaan orang lain menghilangkan kebaikan apa pun yang berasal dari empati, dan itu melemahkan. Apa yang kita rasakan adalah sebuah "distres empatetik." Alih-alih ikut merasakan sakit orang-orang lain secara positif, di mana kita didorong untuk melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka, "distres empatetik" menekan tindakan apa pun.

Distres yang tidak perlu ini berfungsi sebagai penghalang untuk tindakan apa pun, yang buruk bagi kesehatan dan menyebabkan perasaan putus asa dan apatis. Oleh karena itu, orang yang bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk membantu korban, menempatkan dirinya di tempat di mana dia diliputi perasaan. Menjadi terlalu empatetik adalah ketika empati tidak mulia atau tidak berguna, tidak efektif dan merugikan.

Membayangkan bagaimana perasaan orang-orang lain dengan menempatkan diri kita pada posisi mereka adalah baik, tetapi kita harus sadar bahwa empati memiliki masalah. Kita harus menyadari bias kita sendiri ketika berempati dengan dunia. Tidak perlu selalu menempatkan diri kita dalam situasi orang-orang lain untuk membantu mereka, kita hanya perlu peduli.

Kepustakaan
1. Sidhu, Kiran, The Problem with Empathy, Planet Mindful, March - April 2021, hlm. 34-35.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 20 September 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun