Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hargai Diri Sendiri Lebih Dulu

25 Mei 2021   15:02 Diperbarui: 25 Mei 2021   15:12 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: careercontessa.com

10 tanda Anda berada dalam sebuah lingkungan kerja toksik.

Kali ini saya menggunakan kata "harga" dalam konteks seperti dalam "harga barang."
Berapa harga diri saya?
Berapa sepantasnya saya digaji?

Sewaktu saya berkuliah dulu, saya pernah mendiskusikan dengan seorang dosen saya tentang sebuah kalkulasi yang tak pernah dilakukan oleh mahasiswa lain, berapa investasi saya selama kuliah?

Mengapa kalkulasi ini tidak dilakukan?

1. Kebiasaan di mana orangtualah yang bertanggung jawab menanggung semua biaya hidup anak sampai dengan tamat  kuliah, bahkan melampauinya, selagi si anak belum bisa mandiri. Ini sebenarnya sebuah masalah yang sangat besar bagi orangtua, apalagi jika penghasilan mereka tak menentu, kadang-kadang mengalami kesulitan keuangan, memiliki banyak anak, dll.

Saya pernah membaca dari sebuah laman dan sangat terkejut melihat total jumlah biaya bulanan yang dikirimkan oleh orangtua di Tapanuli Utara untuk anak-anak mereka yang berkuliah (termasuk beras dan bahan makanan lain), dan tak ada seorang pun mahasiswa yang melakukan kalkulasi investasi untuk kuliahnya?

Saya mandiri secara finansial sejak kelas 1 SMP dan paham dengan proses uang masuk-keluar. Saya bukan mau mengatakan bahwa setiap mahasiswa harus menghitung investasi mereka seperti saya, tapi saya hanya akan berbagi pengalaman pribadi saya, dengan melontarkan sebuah pertanyaan:

"Bagaimana Anda bisa tahu berapa gaji Anda yang layak ketika mulai bekerja jika Anda tidak mendata biaya bulanan rata-rata Anda, setidaknya selama kuliah?"

Ada beberapa hal yang memprihatinkan saya tatkala melihat kenyataan:

1. Orang menerima "gaji standar" yang sudah ditetapkan. Banyak yang beralasan penghibur diri, "sedikit di bawah standar pun tak apa-apalah, saya kan sambil mencari pengalaman."

Saya tegaskan, semua peraturan, termasuk UMR misalnya, dibuat untuk kepentingan orang banyak. Saya bukan menderu Anda untuk menentang ketentuan UMR, saya menghimbau Anda membuat kalkukasi, tahu persis harga diri Anda, dan mencari perusahaan yang bisa memberikan penghargaan yang sama.

Mari kita renungkan, dalam menjalani setiap tahapan hidup, dalam hal ini kuliah, ada pengorbanan yang kita keluarkan untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang menjadi landasan kompetensi. Pengalaman apa lagi yang dimaksudkan sedang dicari? Bukankah kita yang mengaplikasikan kompetensi kita dan menciptakan sebuah pengalaman?

Benar, pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengetahuan apa tidak perlu? Saya berikan sebuah ilustrasi:

Si A pertama kali membeli lalu menggunakan sebuah korek api. Suatu hari dia mendapat sebuah "pengalaman" koreknya sudah tidak bisa digunakan. Usut punya usut ternyata gasnya habis. Dia pun membeli sebuah korek api baru. Suatu hari dia mendapat sebuah "pengalaman baru" koreknya sudah tidak bisa digunakan juga, tapi kali ini gasnya masih ada. Usut punya usut lagi ternyata geretannya sudah licin sehingga tidak bisa memercikkan api.

Si B pertama kali membeli sebuah korek api. Sebelum dia menggunakan korek api itu, dengan basis pengetahuan yang dia miliki, dia mengamati cara kerja sebuah korek api dan menyimpulkan apa yang membuat sebuah korek berfungsi dan apa pula yang membuatnya tidak bisa digunakan lagi.

2. Orang tertentu memiliki alasan menerima apa yang ditentukan orang lain untuk dirinya, yaitu dia bisa melakukan pekerjaan berganda tanpa dampak terhadap semua yang dia kerjakan. Baguslah, kalau memang bisa mengaplikasikan dengan benar: Sambil menyelam minum air tangkap ikan cari mutiara cabut rumput laut dan lain-lain, tapi tidak tenggelam!

Saya sendiri pernah melakukan minimal 4 pekerjaan sekaligus (tidak konflik satu sama lain) selama bertahun-tahun, dengan rata-rata waktu tidur kurang dari 5 jam, dan satu dampak buruk yang saya biarkan terjadi adalah: menerima gaji tak layak karena gaji tersebut hanya berkontribusi 30% dari total penghasilan saya, walaupun bagi orang lain itu sudah di atas standar, standar mereka.  

Kata Ivan Burnell:
1. Tiap orang melakukan sesuatu yang menurutnya terbaik di bawah kondisi dia sendiri.

2. Aturan No. 1: Makna Diri
Aku penting, orang lain juga penting. Aku tidak akan menggunakan pentingnya diriku untuk menjatuhkan siapa pun, dan aku tidak - tidak - tidak akan membiarkan siapa pun menggunakan pentingnya diri mereka untuk menjatuhkan aku.

Hasil pengamatan saya:
1. Empat komponen dengan porsi masing-masing yang variatif dibutuhkan dalam bekerja: tenaga, pikiran, tanggung jawab, dan ide.

2. Sebelum orang lain, siapa pun itu, yang menilai harga kita, kita sendiri yang harus melakukan penilaiannya itu. Dalam bekerja, prasyarat yang paling penting adalah kompetensi, kejujuran, dan pemeliharaan hubungan baik dengan semua orang di kantor.

Banyak dan sedikit itu relatif.

Sekarang kaitan semua penjelasan saya di atas dengan lingkungan kerja toksik.

Orang yang bertahan bekerja walau penghasilannya tidak bisa menutupi biaya bulanan (tidak mau ambil risiko mencari pekerjaan dengan gaji yang cukup) cenderung:

1. Menganggap "kalau pekerjaan ini tidak saya ambil, di belakang saya banyak orang yang antre."

2. Irit habis-habisan.

3. Tidak bisa mengerjakan tugasnya dengan baik. Yang lebih parah, menunjukkan sikap menjilat kepada atasan untuk menutupi kekurangannya.

4. Memiliki semangat bersaing yang tidak pada tempatnya demi mempertahankan pekerjaan yang sebenarnya tidak layak dipertahankan. Di sini terlihat jelas bahwa urgensi memastikan pemenuhan kebutuhan membuat seseorang bertahan dengan ketidakcukupan dengan lebih banyak mengorbankan diri. Jadilah dia seorang toksik yang mengesampingkan hati nurani dan membangun sebuah lingkungan kerja yang toksik.

Pada gilirannya, ini berpotensi membuat rekan-rekan kerja menjadi toksik, karena mereka juga, maaf, berangkat dari pola pikir dan berada dalam keadaan yang relatif sama.

Ini 10 tanda Anda berada dalam sebuah lingkungan kerja toksik, yang melebihi sebuah pekerjaan yang Anda "benci."

Dalam laman ini ada sebuah pertanyaan menarik: "Siapkah Anda untuk memulai karir Anda selanjutnya?"

Jonggol, 25 Mei 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun