Mohon tunggu...
Sigit Purwanto Ipung
Sigit Purwanto Ipung Mohon Tunggu... CEO and Founder Tempe Pinilih

bersama sebotol ciu menikmati hidup dan merayakan cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dunia Pipin

22 Juli 2025   15:33 Diperbarui: 22 Juli 2025   15:33 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah Sekolah Luar Biasa yang ramai dengan teriakan dan tawa anak-anak istimewa, ada satu sudut sekolah itu yang  tetap sunyi. Di sana, duduk Pipin, bocah perempuan sembilan tahun dengan mata besar yang kerap memandang jauh ke suatu tempat yang hanya bisa ia lihat.

Pipin tidak bicara. Kata-kata tersekat dalam pikiran yang penuh warna, tidak pernah menemukan jalan keluar lewat suara. Di tengah kebisingan dunia yang seringkali terlalu keras dan tidak terpahami, Pipin memiliki satu pelabuhan, selembar kain berwarna merah muda pudar, dengan motif kucing-kucing lucu yang sudah kabur dimakan waktu dan dicuci berulang kali.

Kain itu selalu ada. Melilit lehernya, terjuntai dari saku, atau terkepal erat dalam genggaman tangannya yang kecil. Hari ini, seperti sering terjadi, kain itu menutupi seluruh kepala dan pundaknya, membentuk ruang kecil yang hanya milik Pipin. Di dalam kurungan lembut kain merah muda itu, dunia luar yang bising dan penuh tuntutan mereda.

Dari dalam sana, Pipin berlayar. Ia melihat tumpukan piza keju menggiurkan, lapisan keju meleleh seperti matahari terbenam. Ia merasakan guncangan lembut kereta api saat Bapak mengajaknya jalan-jalan ke kebun binatang, bayangan jerapah yang tinggi menjulang lewat jendela. Ia mendengar lagu ceria dari video anak-anak favoritnya, gambar-gambar cerah menari di balik kelopak matanya. Dan air... oh, sensasi dingin dan gemericik air saat ia menepuk-nepuk permukaan bak mandi, menciptakan riak dan gelombang kecil yang memantulkan cahaya. Di dalam kainnya, Pipin tersenyum. Di sana, ia bebas.

Kain itu bukan sekadar kain. Ibu selalu berbisik, suaranya hangat seperti selimut, "Ini kain pertama yang membungkusmu, Sayang. Saat kau lahir ke dunia." Kain bedong berwarna merah muda dengan kucing-kucing itu adalah saksi pertama tangisnya, pelukan pertama Ibu.

Ketika Pipin berusia dua tahun dan dunia mulai terasa berbeda. Kata-kata tak kunjung datang, kontak mata sulit terjalin, suara tertentu membuatnya ingin menyembunyikan diri dan kain itu menjadi jangkar. Ia adalah benda nyata di tengah lautan sensasi yang seringkali kacau. Ia adalah keamanan.

Tapi dunia luar tidak selalu ramah. Suara tiba-tiba memekakkan telinga. Tatapan orang lain terasa menusuk. Dan terkadang, ada anak-anak lain, yang karena ketidaktahuan atau ketakutan, melihat perbedaan Pipin sebagai bahan olok-olok. Seorang anak laki-laki lebih besar mendekat, menirukan gerakan Pipin yang berayun-ayun. Yang lain tertawa, menunjuk-nunjuk ke arah kerudung merah mudanya. "Dasar aneh! Bisu!" seru salah satunya, suaranya seperti batu kerikil tajam.

Pipin tidak sepenuhnya memahami kata-kata itu, tapi ia merasakan nada ejekan, gelombang energi negatif yang mendesak. Tubuhnya menegang. Ia menarik kain merah mudanya lebih kencang, lebih rapat, hingga dunia menyempit menjadi warna merah muda yang lembut dan motif kucing yang samar. Di dalam sana, rasa takut itu perlahan mereda, digantikan oleh bayangan es krim cokelat yang dingin dan manis. "Tinggal di sini", bisik kain itu tanpa suara. "Aku melindungimu".

Di rumah, cinta mengalir tanpa syarat. Kakak-kakak Pipin, meski kadang bingung, selalu berusaha mengajaknya bermain. Bapak dengan sabar menggendongnya berputar-putar, memicu tawa senang yang keluar seperti gelembung dari dalam dada Pipin. Ibu adalah sumber kehangatan utama, selalu siap dengan pelukan, makanan favorit, dan kesabaran tak berujung untuk memahami bahasa Pipin yang unik,  sebuah bahasa dari tatapan, gerakan tubuh, dan tekanan tangan. Mereka melihat Pipin, bukan hanya autisme-nya. Mereka melihat keingintahuannya yang besar saat ia memeriksa tekstur daun baru, kegigihannya saat mencoba menyusun puzzle, dan cahaya di matanya saat ia bahagia.

Namun, di malam-malam yang sunyi, saat Pipin terlelap dengan kain merah muda tergeletak di dekat pipinya, pertanyaan seperti bayangan mengintai di hati Ibu dan Bapak: "Adakah masa depan yang cerah untuk anak kami? Apa yang menanti Pipin ketika kami tak lagi di sini?" Dunia terasa besar dan menakutkan untuk seorang bocah yang berkomunikasi dengan caranya sendiri, yang menemukan kenyamanan dalam selembar kain usang.

Pagi itu hujan turun rintik-rintik. Pipin berdiri di teras, menatap genangan air di halaman. Biasanya ia takut pada suara hujan, tapi hari ini berbeda. Matanya tertuju pada riak-riak air yang dibuat oleh tetesan hujan. Sebuah ide, terang dan jelas, muncul dalam pikirannya. Perlahan, ia melangkah keluar. Butiran air dingin menyentuh kulitnya. Pipin mengangkat wajahnya, merasakan sensasi baru itu. Lalu, tanpa ragu, ia mengangkat ujung kain merah mudanya yang berharga, dan mengulurkannya ke luar payung teras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun