Mohon tunggu...
Sigit Purwanto Ipung
Sigit Purwanto Ipung Mohon Tunggu... CEO and Founder Tempe Pinilih

bersama sebotol ciu menikmati hidup dan merayakan cinta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bunuh Diri Kelas, Berani?

21 Mei 2025   18:50 Diperbarui: 21 Mei 2025   18:56 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Konsep class suicide (bunuh diri kelas) dalam teori Marxis mengacu pada tindakan radikal individu dari kelas borjuis yang melepaskan hak istimewa (privilege) material dan sosial untuk sepenuhnya berpihak pada perjuangan proletariat. Ini bukan sekadar perubahan status ekonomi, melainkan transformasi kesadaran (class consciousness) yang mendalam, kepentingan individu ditundukkan demi solidaritas antarkelas tertindas.

Borjuasi Belok Kiri


Dalam "The Communist Manifesto", Marx dan Engels menegaskan bahwa revolusi proletar membutuhkan kesadaran kolektif untuk menghancurkan hierarki kapitalis. Namun, "bunuh diri kelas" justru dimulai dari dalam borjuasi. Engels, misalnya, meski lahir dari keluarga pemilik pabrik, menggunakan sumber dayanya untuk mendanai riset Marx dan mengkritik kapitalisme yang menguntungkan kelasnya sendiri. Tindakan ini bukan pengorbanan romantis, melainkan pengakuan ilmiah bahwa kapitalisme akan hancur oleh kontradiksi internalnya.

Meninggalkan borjuisme adalah proses traumatis. Individu menghadapi alienasi dari keluarga, kehilangan status sosial, dan kecurigaan proletariat yang mungkin menganggapnya "pengkhianat oportunis". Di sisi lain, mantan borjuis sering membawa pengetahuan, jaringan kekuasaan, dan sumber daya yang vital untuk revolusi. Pertanyaan kritisnya, bisakah mereka benar-benar melepaskan privilege yang terinternalisasi sejak lahir? Psikoanalis seperti Frantz Fanon menyoroti kompleksitas "penghancuran diri" identitas kelas dalam konteks penindasan kolonial, ini analogi yang relevan untuk memahami konflik internal ini.

Relevansi Kontemporer dan Kritik

 
Di era neoliberal, "bunuh diri kelas" mungkin tampak utopis. Kapitalisme menciptakan ilusi mobilitas sosial melalui konsumerisme, sehingga borjuis kecil ("petty bourgeoisie") seperti profesional berpendidikan merasa lebih dekat dengan elit ketimbang buruh. Namun, gerakan seperti Democratic Socialists of America (DSA) yang didukung kaum muda berpendidikan tinggi menunjukkan antikapitalisme bisa lahir dari borjuis yang "tercerahkan".

Kritik pos-Marxis mengingatkan bahwa kapitalisme mampu mengkooptasi perlawanan. Contohnya, gaya hidup social justice warrior yang dikomodifikasi atau aktivisme yang direduksi menjadi performa di media sosial. Selain itu, perspektif interseksionalitas menekankan bahwa kelas tidak bisa dipisahkan dari ras, gender, atau kolonialisme. Seorang borjuis kulit putih yang "turun kelas" tetap memiliki privilege rasial yang tak dimiliki proletariat dari negara terjajah.

Bunuh Diri Kelas di Indonesia dan Kontradiksinya

 
Di Indonesia, konsep "bunuh diri kelas" tercermin pada tokoh seperti Tan Malaka dan Sutan Sjahrir, intelektual berlatar elit yang memilih berjuang bersama rakyat. Mereka menggunakan pendidikan dan penguasaan bahasa global untuk melawan kolonialisme, sekaligus mengkritik borjuis nasional yang menjadi kaki tangan kapital asing. Kini, "bunuh diri kelas" mungkin terwujud dalam advokat yang membela buruh migran tanpa bayaran atau seniman yang mengkritik oligarki melalui karyanya.

Fenomena ini hidup dalam gerakan aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), LBH (Lembaga Bantuan Hukum), atau relawan kemanusiaan. Banyak berasal dari kelas menengah terdidik (sarjana hukum, lulusan universitas elite) yang memilih bekerja dengan gaji minimal untuk membela kelompok marginal. Motifnya beragam: kesadaran kritis akibat terpapar teori Marxis/feminis, moralitas politik, atau krisis legitimasi kelas (rasa bersiakap atas "privilege").
 
Meski sudah "turun kelas", aktivis tetap memiliki jaringan, kemampuan bahasa asing, atau koneksi politik yang tidak dimiliki proletariat. Ini memungkinkan mereka menjadi "jembatan", tetapi juga mempertahankan hierarki dalam gerakan. Mereka rentan mengalami "alienasi ganda", ditolak kelas asal dan dicurigai proletariat. Contoh nyata, advokat LBH misalnya, mempertaruhkan karier hukum elit untuk membela minoritas, meski kerap difitnah sebagai "provokator". Walhi atau Greenpeace Indonesia diisi anak muda berpendidikan tinggi yang meninggalkan pekerjaan stabil, tetapi harus bernegosiasi dengan pendanaan asing yang kerap tidak sejalan dengan semangat antikapitalis. Banyak mantan aktivis Reformasi 1998 yang kini menjadi bagian oligarki, menunjukkan risiko "bunuh diri kelas" berbalik menjadi "kebangkitan kelas" jika tidak konsisten.

Antara Utopia dan Keniscayaan Sejarah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun