"Bunuh diri kelas" tidak cukup jika hanya mengubah posisi individu tanpa menghancurkan sistem kelas itu sendiri. Aktivis harus menjadi "intelektual organik" (Gramsci), hidup dan berorganisasi bersama komunitas yang diperjuangkan, bukan sekadar "turun dari menara gading". Fokus harus pada pemberdayaan kelompok tertindas sebagai subjek, bukan objek.
"Bunuh diri kelas" adalah paradoks, heroik sekaligus penuh kontradiksi. Ia mencerminkan potensi humanisme radikal kaum terdidik, tetapi juga mengungkap betapa sulitnya keluar dari jerat "privilege" dan logika kapitalis. Keberhasilannya bergantung pada refleksi kritis, dekonstruksi kekuasaan dalam gerakan, dan pembangunan kekuatan kolektif proletariat sebagai pelaku perubahan. Seperti dikatakan Paulo Freire, "Solidaritas sejati adalah bekerja bersama kaum tertindas untuk mengubah struktur yang membuat mereka lapar." Â
Dalam kata-kata Che Guevara, "Seorang revolusioner sejati harus menjadi mesin cinta yang membara", cinta yang membakar identitas lama untuk membuka jalan bagi dunia tanpa kelas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI