Otoritarianisme populis menyebabkan erosi demokrasi, melalui serangkaian tindakan pelemahan lembaga-lembaga demokrasi.
Otoritarianisme populis itu spektrum, bukan biner. Populisme dan otoritarianisme berada dalam satu spektrum perilaku yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin politik. Artinya, otoritarianisme populis merupakan dua tipe perilaku sadar pemimpin politik yang menggunakan daya tarik populisnya sambil secara bertahap berubah menjadi otoriter seiring waktu.
Sangat penting untuk menghindari pemahaman sederhana tentang otoritarianisme populis. Karena tidak semua populis bersifat otoriter. Namun, ketika populisme dikombinasikan dengan pengabaian terhadap norma-norma demokrasi dan hasrat berkuasa yang tidak terkendali, hal itu dapat mengarah ke jalan berbahaya.
Mari kita simak dua contoh kasus ini, lalu kita interpolasi pada kondisi Indonesia. Ingat ya, in-ter-po-la-si yang ada rumusnya gini; y = y₁ + (y₂ - y₁) * (x - x₁) / (x₂ - x₁). Bukan refleksi yang sarat subyektifitas dan bias. Lalu kita akan menemukan jawaban pertanyaan; apakah kita pernah terjerembab dalam otoritarianisme populis?
Kasus pertama, dari Argentina, presiden Juan Peron (1946-1955, 1973-1974) dari partai Partido Justicialista. Peron memiliki elemen populis berupa daya tarik langsung kepada Rakyat. Peron mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang berasal dari rakyat jelata dan mengembangkan hubungan yang kuat dengan kelas pekerja ("descamisados," atau yang tidak berbaju), menggunakan bahasa emosional dan demonstrasi untuk melewati struktur politik tradisional.
Dengan retorika anti kemapanan, Peron sering mengecam elit kaya, modal asing, dan partai-partai politik tradisional, menggambarkan dirinya sebagai rakyat jelata. Tak sampai di situ, Peron punya program kesejahteraan sosial impresif dengan menerapkan reformasi sosial yang luas, menasionalisasi industri-industri kunci, dan memberikan tunjangan seperti peningkatan upah dan jaminan sosial, yang semakin memperkuat popularitasnya.
Dibalik populismenya itu Peron menjalankan praktik otoriter dengan terang-terangan melakukan penindasan terhadap oposisi, membatasi kebebasan sipil, menekan suara-suara yang berbeda pendapat di media, dan memenjarakan atau mengasingkan lawan politik. Menggunakan propaganda dan pidato karismatik, ia mengembangkan kultus yang berpusat pada dirinya dan istrinya, Eva Peron. Ia juga melakukan sentralisasi kekuasaan dengan memusatkan kontrol, mengurangi kekuatan cabang legislatif dan yudikatif. Yang tidak kalah anjay, rezim Peron membiarkan menteri-menteri dan pejabat melakukan korupsi lalu menyandera mereka dengan kasus hukum atas korupsi yang mereka lakukan.
Kasus kedua dari Venezuela, presiden Hugo Chavez (1999-2013) dari partai Gerakan Republik Kelima yang kemudian meloncat ke Partai Sosialis Bersatu Venezuela.
Chavez dikenal dengan pidatonya yang kuat, terhubung dengan warga Venezuela biasa dengan menekankan latar belakangnya yang sederhana dan pesan anti-elitis. Dia mempromosikan "Revolusi Bolivarian" yang menekankan partisipasi langsung rakyat, dan melewati lembaga-lembaga demokrasi tradisional. Chavez menerapkan program sosial yang membawa manfaat bagi orang miskin dan terpinggirkan, didanai oleh pendapatan minyak, yang semakin memperkuat popularitasnya.
Praktik otoriter Chavez dengan mengerosi lembaga demokrasi yang merusak independensi yudikatif dan Majelis Nasional, lalu memperluas kekuasaan presiden. Sejurus dengan itu meningkatkan kontrol atas media, menutup atau membatasi akses bagi jurnalis yang mengkritiknya, memperburuk polarisasi politik, mendemonisasi oposisi dan mengembangkan iklim ketakutan dan intimidasi. Citra Chavez dipromosikan secara besar-besaran melalui media negara. Dia bahkan membuat pendukungnya menyanyikan "Chavez adalah ayah kami" di televisi. Tingkat otoritarianisme di bawah Chavez adalah subjek perdebatan yang berkelanjutan. Dia berulang kali terpilih kembali dalam pemilihan yang dianggap bebas tetapi dengan beberapa kekhawatiran atas keadilannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI