Teachable Machine dan Suno.ai bukan sekadar alat. Di tangan para guru yang ikhlas, mereka bisa menjadi wasilah untuk membuka cakrawala berpikir... dan menanamkan nilai spiritual dalam dunia yang kian digital.
Saat AI Mulai Membumi di Ruang Kelas
Hari Ketiga menjadi titik balik: plugged learning sepenuhnya dimulai. Para guru saya ajak mencoba Teachable Machine, mengenali konsep object classification dengan pendekatan sederhana: membedakan ayam, kucing, dan selainnya. Mereka belajar bukan hanya meng-klik, tapi memahami bagaimana komputer belajar melalui contoh.
Saya tekankan bahwa ini adalah awal dari literasi baru — bukan sekadar bisa menggunakan teknologi, tapi bisa mendidik manusia di tengah teknologi.
Apa Itu Teachable Machine?
Teachable Machine (https://teachablemachine.withgoogle.com/) adalah alat dari Google yang membuat mesin bisa "belajar" dengan sangat mudah, bahkan tanpa perlu bisa coding. Cocok untuk anak-anak, guru, atau siapa pun yang ingin mengenal kecerdasan buatan (AI) secara praktis.
Cara Kerjanya (Analoginya):
Bayangkan Anda punya kotak pintar.
-
Anda masukkan contoh-contoh gambar atau suara, misalnya:
Gambar kucing
Gambar ayam
Suara tepuk tangan
Suara bersiul
Lalu Anda melatih kotak itu dengan berkata:
"Kalau kamu lihat gambar ini, itu kucing ya."
"Kalau suara begini, itu tepuk tangan."
Setelah cukup banyak contoh, kotak pintar itu bisa menebak sendiri kalau nanti ada gambar baru, “Oh ini mirip yang tadi… ini pasti ayam.”
Apa yang Bisa Dibuat?
Mengenali gambar wajah, hewan, barang
Membedakan suara manusia atau instrumen
Mengenali gerakan tubuh lewat kamera (pose detection)
Contoh Sederhana untuk Guru:
Latih AI mengenali wajah siswa: upload beberapa foto.
Latih AI mengenali suara huruf vokal: ucapkan A-I-U-E-O.
Latih AI mengenali gerakan tangan: tangan ke atas = "halo", tangan ke bawah = "bye".
Kelebihan:
Tanpa instalasi (cukup lewat browser)
Tanpa coding
Gratis
Bisa langsung dicoba hasilnya
Untuk Apa Digunakan?
Edukasi AI untuk anak sekolah
Eksperimen sains
Prototipe teknologi sederhana
Menginspirasi logika berpikir mesin
Lagu dari Prompt: Ketika AI Ikut Bernyanyi
Setelah klasifikasi gambar, suasana kelas kami isi dengan nada. Kami coba suno.com, sistem kecerdasan buatan yang bisa membuat lagu hanya dari prompt tulisan.
Terdengar sederhana... tapi bagi guru-guru, ini adalah bentuk baru dari kreativitas edukatif.
Mereka praktek menulis lirik, memberi gaya musik, dan melihat bagaimana AI merespons. Bukan untuk menjadi musisi, tapi untuk memahami cara berpikir sistem otomatis, dan bagaimana AI bisa mereka gunakan untuk membuat pembelajaran jadi menyenangkan.
Lalu kami lanjutkan ke Suno AI. Di sini suasana mendadak cair dan penuh tawa. Bayangkan, seorang guru matematika mendadak jadi penyanyi AI, dan Bu Neneng yang sedang hamil bahkan bercanda mau menamai anaknya Ahmad Coding atau Siti AI. Hari ini sungguh... absurd dan indah.
Kegunaan Suno Buat Guru dan Murid:
Membuat lagu pelajaran (misal: “Bilangan Prima” jadi lagu)
Menghidupkan cerita anak dengan iringan musik
Bikin karya seni kolaboratif dengan murid
Membangkitkan minat belajar lewat musik!
Intinya...
Suno adalah mesin sulap AI yang bisa membuat musik hanya dengan kalimat.
Cocok untuk semua kalangan, terutama guru kreatif, murid aktif, dan manusia-manusia penuh imajinasi!
Ketika TPACK Tak Menyebut K (Berfikir Kritis)
Salah satu momen menarik terjadi ketika kami membahas model TPACK — framework yang menggabungkan Technological, Pedagogical, and Content Knowledge.
Beberapa guru bertanya: “Pak, kok gak ada huruf K (Knowledge) di tengah-tengah Venn Diagram-nya?”
Pertanyaan itu menjadi titik refleksi. Di sesi kecil, kami diskusikan hal ini secara kritis. Saya ajak mereka cari tahu — bahkan bertanya langsung ke ChatGPT.
Dan ternyata... semua lingkaran itu memang mengandung Knowledge, tapi tidak ditulis secara eksplisit. Pertanyaan kritis ini menunjukkan bahwa guru yang melek teknologi tidak boleh kehilangan daya tanya.
Framework bukan kitab suci. Berpikir kritis adalah bagian dari iman dan kemerdekaan intelektual.
Guru Harus Menulis: Jangan Takut! Mengubah Ketakutan Menjadi Suara Kebenaran
Di akhir sesi, saya ajak para guru menulis di Kompasiana dan bergabung ke Komunitas penulis.
Kenapa Guru Harus Jadi Penulis?
1. Karena ilmu bukan sekadar disampaikan, tapi diwariskan.
Menulis membuat ilmu yang kita ajarkan hari ini tetap hidup esok hari... bahkan setelah kita pensiun. Lisan bisa hilang, tapi tulisan bertahan.
2. Karena menulis itu mengikat ilmu.
Imam Syafi’i berkata: "Ilmu itu bagaikan hewan buruan, dan menulis adalah tali pengikatnya."
Guru yang menulis akan lebih dalam merenungi materi ajarnya. Ia tidak sekadar mengajar, tapi mendalami.
3. Karena guru adalah saksi zaman.
Setiap hari guru menyaksikan perubahan, tantangan, dan dinamika sosial. Kalau bukan guru yang menulis tentang realita pendidikan, siapa lagi?
4. Karena menulis adalah bentuk perjuangan.
Di tengah arus disinformasi, tulisan guru bisa menjadi penyeimbang nalar publik. Menulis bukan cuma hobi, tapi juga amar ma’ruf nahi munkar dalam bentuk tinta.
5. Karena murid tidak hanya butuh pelajaran, tapi juga keteladanan.
Saat murid tahu gurunya aktif menulis, mereka belajar bahwa ilmu tak berhenti di kelas. Itu akan menginspirasi mereka menjadi pembelajar seumur hidup.
“Tapi Prof... Jika bersuara, kami sebagian besar ASN dan kami takut dibungkam...”
Saya jawab:
"Kalau suara itu hanya satu, mungkin bisa ditekan. Tapi jika kita bersuara bersama... siapa yang bisa membungkam nurani para guru?"
Selama tulisan mereka tidak hoax, tidak menyebar kebencian, dan disampaikan dengan niat baik maka menulis adalah bagian dari jihad ilmu. Dan saya percaya, tugas guru tak berhenti di papan tulis... tapi juga menyentuh publik melalui narasi.
Saya juga ajak mereka bergabung ke komunitas penulis, agar tidak sendiri dalam menyuarakan kebenaran. Sebab dalam kebersamaan, akan lahir keberanian dan kekuatan menyuarakan nilai-nilai pendidikan dan moral bangsa.
Menulis adalah cara guru menjaga akal, memperkuat integritas, dan meninggalkan jejak kebaikan. Tidak harus viral, cukup jujur... dan benar. Insya Allah, jadi amal jariyah.
Agama Tak Boleh Hilang dari Matematika
Di sela-sela sesi, kami juga berdiskusi tentang kurikulum agama yang mulai dipangkas. Seorang guru bertanya:
“Lalu, bagaimana menyisipkan nilai agama jika jam pelajarannya sedikit, Prof?”
Saya jawab:
“Jadikan agama sebagai roh dalam pelajaran apapun. Misalnya dalam matematika, ajak murid jujur saat menghitung. Dalam bahasa, ajarkan adab bicara. Dalam seni, tanamkan nilai keindahan ciptaan Allah.”
Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Menulis?
Satu tulisan reflektif atau opini ringan bisa ditulis dalam:
15 menit untuk ide dan kerangka
15–20 menit untuk menulis utuh (sekitar 300–500 kata)
5 menit untuk menyunting dan unggah
Total waktu: ±30–40 menit per hari.
Tips:
Mulailah dengan satu paragraf per hari. Jangan kejar sempurna... kejar tuntas. Lama-lama menulis menjadi ringan seperti berbicara.
Saya tidak khawatir pelajaran agama berkurang...
Saya justru khawatir agama tak hadir dalam cara guru mendidik.
Dan saya tutup sesi dengan pesan sederhana:
Meski jam pelajaran agama dipangkas, jangan biarkan akhlak dan nilai agama hilang dari sela-sela pelajaran.
Agama bukan mata pelajaran. Ia adalah cahaya.
Hari Ketiga adalah hari keberanian.
Berani mengenal AI... berani menulis... dan berani tetap membawa nilai Islam ke dalam setiap sudut ruang kelas.
Saya bersyukur bisa berdiri hari ini sebagai fasilitator, sekaligus murid dari semangat para guru. Mereka tak hanya mengajarkan pelajaran, tapi memperjuangkan masa depan bangsa.
Semoga langkah-langkah kecil kita hari ini menjadi bagian dari jalan panjang menuju pendidikan yang bukan sekadar canggih, tapi juga beradab dan bertakwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI