Sebutan konten porno, apalagi disajikan melalui media yang banyak dikonsumsi khalayak termasuk tayangan online sudah jelas merupakan suatu pelanggaran moral (etika).
Itu sebabnya ruang publik (public sphere) media dinilai kurang pantas bilamana didapati menampilkan konten-konten yang dapat dikategorikan mengandung unsur porno. Bahkan regulasi terkait persoalan ini ditemui di hampir semua negara, juga Indonesia.Â
Soal tayangan porno atau pornografi tak akan dibahas secara detail melalui definisi-definisi yang hanya membuahkan debatebel. Namun dalam konteks ini cukup dimaksudkan sebagai konten yang bisa mengundang birahi bagi khalayak luas, atau siapa saja yang mengonsumsinya.
Paling mengkhawatirkan bilamana tayangan tersebut dikonsumsi oleh mereka yang belum siap bermedia, belum tersentuh dan memahami media literasi khususnya media online yang saban hari mendifusikan pesan-pesan dalam jumlah tak terhingga.
Lebih dari itu, kini masih ditemui konten-konten berbau porno juga menyelinap (nge-link) di berbagai rubrikasi sehingga bagi yang tidak selektif dalam memilah dan memilihnya -- sangat boleh jadi akan membawa efek lebih lanjut.
Beberapa hal perlu diketahui mengapa konten yang banyak ditabukan ini masih atau terus menerus bercokol terutama di dunia online, di antaranya:
- Era keterbukaan ditandai kebebasan ditunjang teknologi telah menyebabkan 'banjir informasi' yang semakin meluber. Ibarat banjir bandang melanda, sulit dibendung, muatan material berupa info yang bermanfaat hingga yang tergolong sampah ikut mengalir deras meluap ke mana-mana.
- Di sejumlah negara, konten yang berbau esek-esek tersebut merupakan komoditi sehingga dikemas sedemikian rupa dalam perspektif ekonomi politik demi perolehan profit. Hal ini didasari pengalaman bertahun-tahun di hampir seluruh dunia bahwa topik-topik terkait war, sex, crime merupakan selling topic, laris manis untuk dijual atau dikonsumsi.
- Beberapa langkah pencegahan secara preventif dan represif yang telah dilakukan pemerintah maupun para pemangku kepentingan terhadap merebaknya konten porno tak pernah berhenti dilakukan, bahkan cenderung dapat dibilang masih kurang efektif. Kalaupun boleh diibaratkan, seperti peribahasa: "mati satu, tumbuh seribu atau sejuta."
- Berdasarkan survai yang pernah dilakukan, Indonesia termasuk ranking 10 besar negara-negara pengakses situs porno. Sumber di sini
Ini mengindikasikan bahwa 'wabah pornografi' masih saja ditemui dan sepertinya bisa tular-menular kayak virus. Dan celakanya, bilamana efek yang diakibatkan hingga menyebabkan ketergantungan (adiktif ) - sehingga semakin memperumit alias mempersulit penanganannya.
Dilihat dari sepintas gambaran tersebut, 'wabah pornografi' ini tak bisa dianggap sepele, tetep merupakan masalah serius namun upaya untuk mengantisipasinya mengalami banyak kendala untuk bisa diberantas secara tuntas. Mengapa?
Karena di satu sisi jika konten yang berbau porno dibiarkan bisa membawa dampak negatif terutama terhadap mereka yang belum sadar bermedia, sedangkan pada sisi lain masih ada produsen dan konsumen yang bertransaksi walaupun dilakukan melalui 'jalan tikus' alias secara samar-samar atau sembunyi-sembunyi.
Nah membincang persoalan pornografi ini terutama yang ditayang lewat media online sesungguhnya tidak cukup berdasarkan penilaian hitam-putih, haram menurut ajaran religi, dan itu semua sangat bisa diterima karena kita memang sebagai bangsa yang berbudaya.