Di zaman orba, pemerintah sering melakukan intervensi terhadap kebebasan pers, intervensi di antaranya dilakukan melalui budaya telepon, slogan hubungan positif antara pemerintah- pers- dan masyarakat, hingga penguasaan saham penerbitan.Â
Ancaman ini sering menghantui media atau pers sehingga bilamana terjadi pembredelan tanpa dilakukan proses melalui peradilan.
Berkait hal ini, dalam buku berjudul Beberapa Segi Pekembangan Sejarah Pers Indonesia (Cetakan II, 2002, xxii) disinyalir oleh mantan Direktur LEKNAS-LIPI, Taufik Abdullah dalam Kata Pengantarnya bahwa pemerintah orde baru telah menjadikan dirinya sebagai pemegang "hegemoni makna" dan "hegemoni wacana." Â
Pemerintah orde baru berusaha sekuat tenaga "mendiamkan" dan "mendeskreditkan" segala suara yang dianggap merusak dunia serba konsensus yang telah dikuasainya.
Dalam perkembangannya, seiring dinamika sosial-politik bersamaan dimulainya pasar bebas di awal tahun 1990-an maka persoalan kebebasan terus dikumandangkan oleh beberapa kalangan ditandai tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan demokrasi yang berfokus pada perlunya fungsi pers/media sebagai kontrol terhadap kekuasaan.
Hal ini turut pula mengakibatkan lengsernya rezim orde baru (1998) yang dinilai otoritarian dan selanjutnya melahirkan pemerintahan reformasi dengan tuntutannya yaitu demokratisasi, supremasi hukum, dan menjunjung hak asasi manusia atau HAM.
Nah, di awal pemerintahan inilah lantas diterbitkan regulasi atau disahkan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, berlaku sampai sekarang. Kebebasan pers dalam regulasi tersebut ditemui dalam Bab II Pasal 3 sampai dengan Pasal 6, dan Bab III Pasal 7 dan 8, serta Bab IV Pasal 9 sampai Pasal 14.
Menyangkut kebebasan pers tersebut dapat dilihat pada Pasal 3 yang menyebutkan: kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan suprmasi hukum.
Demikian pula dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat (2) menjelaskan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Sedangkan dalam ayat (3) menyatakan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai Hak Tolak.
Mengenai kebebasan pers ini juga dijamin melalui Pasal 9 ayat (1), setiap Warga Negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, ayat (2) menyebutkan, setiap perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.
Berdasar Pasal 9 inilah dimensi kebebasan pers selanjutnya diterjemahkan secara luas menyangkut kepentingan ekonomi, sehingga berimplikasi terhadap booming pendirian perusahaan pers atau media, bertumbuh pesat seperti jamur di musim hujan.