Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sentani dalam Catatan dan Kenanganku

25 Maret 2019   03:26 Diperbarui: 7 April 2019   18:58 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah warga melihat rumah yang rusak akibat banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Minggu (17/3/2019). Berdasarkan data BNPB, banjir bandang yang terjadi pada Sabtu (16/3) tersebut mengakibatkan 42 tewas. ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama.(ANTARA FOTO/Gusti Tanati)

Masih teringat kali pertama menginjakkan kaki di bumi Papua, Agustus 2013 silam, kesan alam dan lingkungan hidupnya terlihat masih ijo royo-royo. 

Danau Sentani disinari mentari pagi menambah eksotisnya kawasan, menggugah semangat penumpang termasuk saya ketika hendak mendarat di bandara setempat.

Lepas dari Bandara Sentani, di atas kendaraan jemputan hawanya terasa segar, sejuk menusuk dan alami sambil menyusuri jalan utama (Jayapura- Sentani- Depapre) yang diapit pemandangan lereng-lereng pegunungan (Cycloop) dan permukiman penduduk, pertokoan, perkantoran dan beberapa gedung sekolah di seberang jalan.

Sungguh kawan, berkunjung ke Wilayah Idonesia (bagian) Timur termasuk Papua cukup menyenangkan. Di samping bergiat/berkolaborasi dengan kolega juga sambil belajar memahami budaya lokal serta alamnya yang masih belum sehiruk-pikuk seperti di Pulau Jawa yang cenderung padat di hampir semua kota dan segala lini kehidupan.

Sumber daya alamnya yang melimpah dan masing-masing kabupaten/kota berwilayah luas, terbagi dalam beberapa suku menjadikan kita betah menyermati segala persoalan yang pastinya akan banyak memberikan sesuatu yang baru (something new) untuk diangkat dalam berbagai perspektif kajian.

kondisi sebagian kawasan pegunungan Cycloop (Dok. Kiriman kolega di Sentani)
kondisi sebagian kawasan pegunungan Cycloop (Dok. Kiriman kolega di Sentani)
Terlepas dari giat yang pernah saya lakukan di Papua, yang jelas Sentani (Kabupaten Jayapura) selalu lekat di hati. Pada umumnya orang yang hendak bergiat di ibu kota Papua (Kota Jayapura) via udara tak lain harus mendarat di Bandara Sentani. 

Akomodasi di wilayah kota Kabupaten Jayapura ini dapat dikatakan lumayan sehingga cukup strategis untuk singgah sementara -- apalagi punya giat di kota lain, dari Bandara Sentani kita bisa memilih tujuan ke manapun di kawasan Papua.

Beberapa kali berkunjung, berblusukan dan menginap di Sentani, memang ada sedikit perbedaan dari waktu ke waktu. Pada kali kedua kunjungan (2016) saya ikut merasakan bangga karena wilayah ini cenderung dapat dibilang mulai menggeliat seiring perkembangan daerah dan sejalan dengan regulasi dalam pemerintahan otonomnya.

Paling tampak kasat mata menurut catatan, giat perekonomian semakin tumbuh dibanding waktu sebelumnya. Ditandai dengan perbaikan/pengembangan berbagai infrastruktur, mulai jalanan yang lebih memadai, bertumbuhnya transportasi seperti jumlah angkutan kota (angkot, kalau di Papua disebut taksi) -- sehingga mobilitas sosial nampak lebih dinamis.

Oh ya, tidak hanya itu. Beberapa toko modern dan gerai-gerai franchice juga terus bercokol, tak terkecuali ekonomi sektor informal ikutan tumbuh sehingga Sentani dan sekitarnya semakin meriah sekaligus memikat. 

Pelabuhan-pelabuhan yang dulunya sepi di tepian danau, belakangan cenderung bertambah frekuensinya mengingat kegiatan masyarakat di pulau-pulau pedalaman yang tersebar di Danau Sentani semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhannya.

Menikmati kawasan Sentani belum lengkap kalau cuma di pagi dan siang hari, yang nampak kebanyakan anak sekolah, pekerja kantoran, dan meriahnya pasar-pasar pagi setempat. Akan lebih lengkap kalau kita di sore hingga petang menyusuri jalanan utama (Sentani -- Jayapura).

Mulai dari Pasar Sore di seputaran Polres disusul masuk jalan utama (depan Landasan Terbang Adventis, Doyo), kawasan Doyo Baru, Kompleks Perkantoran Bupati, pertigaan Sarmi, Kompleks Angkatan Udara, hingga daerah yang disebut Hawai -- di kanan kiri jalan nampak semakin meriah dan gemerlapnya. Terlebih kalau mau cari kuliner kesukaan, tinggal pilih pastinya. Mulai dari yang berkelas hingga yang ada di emperan toko dan kakilima (banyak penjualnya dari luar Papua).

Kali ketiga berkunjung ke Sentani (Mei 2018) nampaknya tidak jauh berbeda dengan kunjungan kedua, kawasan Sentani sudah berkembang menjadi daerah sub-urban di mana aktivitas perekomenomian dan bisnisnya terus bertumbuh.

Hanya saja yang membedakan pada kunjungan terakhir tersebut yaitu kesejukan udaranya yang berkurang, jalanan dan arus lalu-lintas lebih meningkat, polusi udara juga demikian, hampir saban hari badan terasa gerah, walaupun sesekali turun hujan namun kondisi tetap gerah, kurang betah berlama-lama di ruangan sehingga selalu pasang alat pendingin (termasuk kalau berlama-lama ngompasiana, hehehe).

Di awal mula datang ke Sentani sangatlah nyaman karena udaranya sejuk membuat badan bugar, sehingga di waktu luang menggugah untuk betah menyusuri alam dan lingkungan sekitarnya. Bisa berkunjung ke pulau-pulau di Sentani Timur - Asei Besar, menikmati masakan lokal warga Papeda dan pisang rebus, hingga seputaran Situs Megalitik Tutari (Sentani Barat), menanjaki lereng pegunungan Cyloop hingga Ifar Gunung (Situs Tugu Mac Arthur) sambil memandang dari kejauhan hilir mudik pesawat yang landing dan take-off di bandara, sungguh menambah energi positif dan meliarkan kilatan inspirasiku.

Sayangnya catatan dan kenangan itu semua menjadi terhenyak dan lenyap dalam pikiran seketika tatkala Minggu pekan lalu terdengar berita dari para kolegaku di sana bahwa "Sentani dilanda banjir bandang" setelah hujan kali ini, "air masuk rumah sekitar satu meter", permukiman jadi berantakan dan jalanan tak bisa dilewati, banyak orang mengungsi ke tempat aman."

Barang tentu peristiwa ini mengingatkan pada catatan dan amatan yang pernah penulis alami dan merasakan suasana lingkungan hidupnya selama mengunjungi Sentani dan sekitarnya dari waktu ke waktu.

Banyak asumsi dan mengemuka setelah banjir bandang melanda Sentani pada Minggu (17/3) dini hari lalu. Sebab utama yang paling mudah untuk "menghibur dan menenangkan diri" yaitu karena cuaca ekstrim, hujan berintensitas tinggi. 

Di samping itu, kini sebagian wilayah kita dilewati gelombang aliran atmosfir tropis (Madden Julian Oscillation) yang diperkirakan melanda daerah Papua, Jateng, Jatim, NTT dan NTB seputarnya. Demikian bunyi "ramalan cuaca dan sudah masif menyebar.

Namun demikian, bukan berarti kita mengabaikan pengumuman perihal kewaspadaan seperti disebut di atas. Lebih dari itu persoalan banjir sesungguhnya juga sangat bergantung pada kondisi masing-masing daerah yang tidak sama topografi, berikut "sepak terjang" dalam pengelolaan hingga regulasi yang memayunginya - supaya antisipasi terhadap segala risiko dapat diminimalisir.

Hawa yang cenderung panas, membuat tubuh manusia selalu gerah, hilangnya kesejukan alami dan percepatan pembangunan infrastruktur tanpa diimbangi peningkatan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup tentunya jangan disepelekan. 

Berdasarkan berbagai pengalaman ikutan bergabung tim, atas nama otonomi di daerah, seringkali ditemui di lapangan bahwa kebijakan-kebijakan di setiap daerah cenderung dipersepsi pengembangan hanya berfokus pada "pertambahan kas masing-masing" tanpa dibarengi pembangunan berwawasan terkait.

Sebagai salah satu akibatnya, aglomerasi semakin menjamur ditandai percepatan kegiatan ekonomi-binis/perniagaan dan banyak terjadi di berbagai lingkup pemerintahan daerah. Ini merupakan kecenderungan yang banyak ditemui seolah-olah setiap daerah bersaing untuk mengundang investor dan demi meraup apa yang dinamakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) seoptimal mungkin.

Sangat boleh jadi kasus banjir bandang di Sentani atau di daerah-daerah lain akan pula terjadi bilamana implementasi otonomi daerah dipersepsi secara sempit oleh para pelakunya (pengambil keputusan plus para stakeholder) dan hanya mengejar keuntungan materi belaka.

Salah satu catatan yang dapat dilihat belakangan ini, di seputaran Sentani "sangat luar biasa" ditemui lahan-lahan yang tadinya kosong berubah menjadi permukiman atau perumahan-perumahan dan sektor bisnis. 

Tanah-tanah yang tadinya mampu sebagai daerah resapan air kini tak lagi berfungsi seperti semula, manakala di bagian atas (pegunungan Cycloop) menggelontorkan air maka distrik Sentani yang akan menerima risikonya, termasuk banjir bandang yang terjadi pekan lalu.

Apapun dan bagaimanapun juga otonomi di daerah harus tetap jalan, karena ini sudah menjadi amanat Undang-Undang (sejak lahirnya UU No. 22 Tahun 1999, yang terus disempurnakan hingga menjadi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, demikian halnya Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat (UU No.21 Tahun 2001 jo UU No.35 Tahun 2008) secara umum disebutkan bahwa setiap daerah mempunyai kewenangan mengatur daerahnya sendiri. 

Hanya saja yang perlu digarisbawahi bahwa otonomi perlu dipersepsi, dipahami dan disikapi karena ruh maupun substansinya berujung pada pemberdayaan rakyat di daerah.

Melalui kebijakan-kebijakan otonom maka pembangunan secara demokratis dapat berlangsung sehingga rakyat di daerah masing-masing meningkat pelayanannya, adil, merata, semakin berdaya, semakin sejahtera lahir dan batinnya. Bukan malah rakyat hanya menjadi penonton dan menerima "getah pahit" yang menimpanya.

JM (25-3-2019).

Note: foto di atas (kondisi sebagian kawasan pegunungan Cycloop), kiriman terbaru dari kolega di Sentani yang diterima kemarin malam.

Baca artikel ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun