Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Partai Terindah Bulu Tangkis All England 2023

20 Maret 2023   10:26 Diperbarui: 20 Maret 2023   19:42 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
An Se-young (kiri) Chen Yufei dan Tai Tzu-ying (bawah) di All England 2023. (Foto RCTI/Jimmy S Harianto)

Jangan bilang jagoan kalau belum juara All England. Adagium ini banyak diyakini kalangan pebululutangkis dunia, bahkan sejak era Oom Tan Joe Hok muncul sebagai orang Indonesia pertama yang juara All England 1959 mengalahkan rekan senegaranya, Ferry Sonneville di final.

An Se-young bahkan tidak hanya tampil sebagai juara All England yang baru, mengalahkan juara Olimpiade Tokyo Chen Yufei di final Minggu (19/3/2023) malam di Birmingham. Pemain bulu tangkis Korea yang masih berusia 21 tahun itu juga menciptakan partai-partai terindah All England 2023 dalam perjalanannya juara.

Partai semifinal dan final yang dilalui An Se-young di All England kali ini, sungguh layak sebagai partai yang patut dikenang. Sebuah pertarungan hidup mati, dan bahkan "mati hidup lagi". Batas antara menang dan kalah, dalam bulu tangkis masa kini yang dilangsungkan dalam sistem reli poin, sungguh sangat tipis.

Sejak organisasi bulu tangkis dunia, BWF, memberlakukan sistem Reli Poin 3x21 baik di putra maupun putri, ganda maupun tunggal pada Mei 2006, menciptakan persaingan yang super ketat. Tak boleh lengah sedikit pun. Karena lengah satu poin, bisa kehilangan kemenangan yang sebenarnya sudah di tangan. Dan juga sebaliknya, sudah meninggalkan lawan begitu jauh, karena dirinya lengah atau kendor, maka "victory point" yang sudah di tangan pun lepas.

Tai Tzu-ying

Partai terindah pertama, tetapi tentunya itu partai terpahit bagi juara tiga kali All England dari Taipei, Tai Tzu-ying (28) terjadi di semifinal tunggal putri Jumat. Semestinya juara All England 2017, 2018, 2020 inilah finalisnya.

Partai semifinal ini bahkan mungkin yang terindah selama 18 tahun terakhir di All England, semenjak diberlakukan sistem reli poin. Tai Tzu-ying dengan segala kematangannya di lapangan, dipaksa berbuat banyak kesalahan karena pertahanan tembok An Se-young, yang seperti pantang menyerah dalam keadaan terjepit pun. Dan dalam kelelahan keduanya, An Se-young malah tampil semakin berapi-api. Menekan habis lawan meski dia sendiri pun megap-megap.

Bayangkan kejar-mengejar skornya. Di game ketiga penentu, Tai Tzu ying sudah unggul "match point" setidaknya tiga kali. Match point pertama 20-18, 20-19, tersusul 20-20.  Sempat dua kali lagi Tai Tzu-ying unggul match point lagi, 21-20, dan 22-21. Dan malah dikunci di angka itu, 22-24.

Tai Tzu-ying, sebenarnya sudah di atas angin. Lantaran ia sudah meraih kemenangan di game pertama 21-17. An Se-young meningkatkan irama permainannya, dan membuat Tai Tzu-ying  malah keteteran jauh di game kedua 7-13. Sempat menyamakan posisi 18-18, tetapi dikunci 21-19 oleh An Se-young.

Tiga angka kemenangan terakhir An Se-young di game ketiga sungguh dramatis. Bagaimana dengan permainan uletnya An Se-young memaksa Tai Tzu-ying berbuat kesalahan demi kesalahan. Termasuk bola terakhirnya yang memanjang melewati garis belakang, membuat Tai Tzu-ying memekik kecewa memegang wajahnya...

Kunci kemenangan An Se-young lawan Tai Tzu-ying itu jelas. Semangat pantang kalah, sebelum poin terakhir. Dan terus tampil menekan lawan, meskipun sama-sama sudah kecapaian.

Partai indah ini yang terakhir bagi Tai Tzu-ying yang mengumumkan akan mengundurkan diri setelah All England...

Chen Yufei

Partai final All England 2023 lawan juara Olimpiade Tokyo Chen Yufei, juga dramatis. Belum lagi, pemain China Chen Yufei yang dijagokan di All England kali ini, adalah juara Olimpiade Tokyo, yang di perempat final menyingkirkan secara telak juara bertahan All England dan juara dunia Akane Yamaguchi dua game langsung, 21-17, 21-8.

Memang di percaturan putri dunia, saat ini tengah dikuasai pemain-pemain bulu tangkis  hebat. Sehingga pertarungan putri selalu enak ditonton. Jadi, ya seru sekali. Tidak hanya An Se-young si juara baru All England yang memancing daya tarik untuk ditonton, dengan keuletannya. Masih ada Akane Yamaguchi, yang meskipun tingginya tak sampai 160 cm, namun permainannya menawan dengan pertahanannya yang liat, sulit dimatikan.

Pertarungan terketat ya terjadi di antara jagoan-jagoan puncaknya. Chen Yufei, juara All England 2019 dan juara Olimpiade, Tai Tzu-ying juara tiga kali All England, serta penantang berat mereka, An Se-young, juara All England kali ini. Permainan An Se-young, sangat menarik untuk disimak. Tak hanya tajam menyerang, akan tetapi juga kokoh bertahan seperti tembok Panmunjon di Korea.

Sayangnya Tai Tzu-ying kini mengundurkan diri dari persilatan bulu tangkis putri dunia. Mereka adalah pemain-pemain usia dua puluhan. Tai Tzu-ying tertua, 28 tahun. Chen Yufei usianya matang, 25 tahun. Sedangkan An Se-young  masih 21 tahun. Dan si mungil Akane Yamaguchi seumur Chen Yufei, 25 tahun.

An Se-young menundukkan Che Yufei di final All England dengan ketat, 21-17, 10-21, sebelum meraih kemenangan akhir (20-17, 20-18, 29-19) 21-19. Partai ini merupakan contoh, bagaimana kematangan permainan Chen Yufei, yang begitu tenang di saat-saat menjelang kekalahan. Mengejar ketinggalan di tubir jurang, 17-20, 18-20, 19-20. Sebelum akhirnya kalah 19-21, Chen Yufei pantang menyerah.

Sistem reli poin

Revolusi permaian bulu tangkis memang kini terjadi, semenjak sistem angka diberlakukan 21x2 Reli Poin pada 2006. Sistem ini 'memperbaiki' sistem klasik, yang sudah 125 tahun diberlakukan sejak 1877-2002.

Sistem perhitungan angka klasik ini meliputi, tunggal putra, ganda putra, ganda putri dan campuran dengan angka 15, dan deuce 5 sejak 13-13, atau deuce 3 jika posisi 14-14. Khusus tunggal putrinya, game di angka 11.

Sistem diubah menjadi 5x7 poin oleh Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF) namun hanya bertahan tak lebih dari delapan bulan, dari bulan Januari sampai Agustus 2002.

Alasan diubahnya skor, menurut alasan resminya adalah "demi komersial". Sistem pertarungan dengan angka klasik, 15, dengan pertambahan skor hanya terjadi pada pemegang servis, sering berlarut-larut. Satu pertandingan bisa berlangsung berjam-jam. Itu bisa terjadi, lantaran untuk meraih skor, pemain harus memegang servis.

Pertarungan yang pernah meraih "rekor durasi" selama 1 jam 33 menit justru terjadi antara sesama pemain Indonesia, di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 1983 di Bronby Hallen, Denmark antara Icuk Sugiarto vs Liem Swie King. Keduanya sama-sama tak mau kalah, dan mewakili tipe permainan berbeda. Icuk Sugiarto, yang akhirnya tampil sebagai juara dunia, adalah pemain super defensif dengan kombinasi serangan tajam di saat lawan lengah. Sementara, Liem Swie King super offensif.

Setelah Agustus 2002, IBF kembali memakai sistem klasik game 15, dengan deuce di 13-13, serta 14-14. Namun, kembalinya ke sistem klasik ini mengundang kritik, terutama dari kalangan pemain Eropa lantaran bulu tangkis dituding dimonopoli pemain-pemain Asia, dengan sistem skor tersebut.

Word Badminton Federation (WBF), diumumkan sebagai badan pengganti IBF pada 24 September 2006 di Madrid. Dan semenjak itu diberlakukan sistem baru penghitungan angka, dengan sistem 3x21 poin (the best of three) sampai sekarang ini.

Alasan yang sempat muncul, adalah untuk meningkatkan daya jual bulu tangkis. Terutama disesuaikan dengan jam tayang di televisi. Terlalu panjang pertandingan, kurang menjual, kurang komersial.

Dan sekaligus, sistem 3x21 ini mengurangi dominasi tak seimbang permainan bulu tangkis. Sehingga pemain bisa merata ke seluruh dunia, dan memaksa pemain untuk selalu fit sepanjang permainan yang tak begitu berlarut-larut. Kudu fit, kalau meleng sedikit? Hilang kemenangan di tangan. Lantaran untuk meraih angka, tidak perlu lagi berpindah servis seperti sistem klasik.

Siapa lagi fit di angka-angka terakhir pertandingan, dia yang menang. Maka, tidak heran, juara-juara dunia, jagoan-jagoan bulu tangkis dunia, berguguran setiap saat. Tidak perlu menunggu terlalu lama. Lengah dua angka terakhir? Sikats, lu Lewats.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun