Sebuah buku berjudul "On Palestine", oleh Noam Chomsky dan Ilan Pappe, Â terbitan 2015, Frank Barat, memberi kata pengantar dan kalimatnya terakhir tertulis, "Kita banyak. Kita akan menang." Kini terbukti.
Menurut data AFP, setidaknya 151 dari 193 anggota PBB telah mengakui Negara Palestina. Jumlah ini mencakup hampir 80 persen anggota PBB.
Lembaga PBB mengadakan acara peringatan 80 Tahun berdiri di Gedung UN, Newyork, Amerika.
Selama Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt memulai pembicaraan mengenai badan penerus Liga Bangsa-Bangsa dengan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill di atas kapal perang Augusta di Teluk Newfoundland.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disusun dalam sebuah konferensi pada April-Juni 1945. Piagam ini mulai berlaku pada 24 Oktober 1945, dan  PBB mulai beroperasi.
Sidang Umum yang pertama dihadiri wakil dari 51 negara baru berlangsung pada 10 Januari 1946 di Church House, London.
Charles de Gaulle pernah menyindir PBB dengan menyebutnya "le machin" ( artinya "Si Itu"), dan merasa tidak yakin bahwa aliansi keamanan global akan membantu menjaga perdamaian dunia, dia lebih percaya pada perjanjian/pakta pertahanan antar negara secara langsung.
Kini Presiden Perancis Macron, berperan dalam usulan Perdamaian di Gaza, Palestina. Pengakuan Perancis mengingatkan kita pada pemberian suaka politik untuk Pemimpin Iran Ayatollah Khameini tahun 1979.
Peran Inggris dalam memberikan karpet merah kepada Israel untuk mendominasi Palestina tidak bisa dilupakan dari jejak sejarah. Kini berubah setelah 77 tahun. Membuka lembaran baru.
Peran itu membuka jalan lahirnya negara Israel yang diproklamasikan pada 14 Mei 1948. Sehari setelahnya, 15 Mei 1948, terjadi peristiwa Nakba di mana rakyat Palestina tersingkir dari tanahnya sendiri. Berdirinya Israel tak bisa dilepaskan dari peran Inggris, dan peristiwa Nakba 1948 tidak seharusnya membuat Inggris lepas tanggung jawab.
Reaksi Israel
Para ahli mengatakan langkah yang diambil oleh negara-negara seperti Inggris dan Australia tidak akan mengubah kebijakan pemerintah dan justru dapat memperkuat cengkeraman kekuasaannya.
Gelombang pengakuan internasional terhadap negara Palestina telah memicu kecaman keras dan hampir bulat di seluruh spektrum politik di Israel, menyatukan musuh-musuh politik dan, kata para analis, berpotensi memperkuat cengkeraman koalisi yang berkuasa terhadap kekuasaan.
Inggris, Portugal, Australia dan Kanada secara resmi mengakui negara Palestina pada hari Minggu sementara Prancis diperkirakan akan mengikutinya pada hari Senin.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut tindakan tersebut sebagai "tidak masuk di akal" pada Minggu malam, dan "hadiah bagi terorisme", sementara Presiden Israel mengatakan "kekuatan kegelapan" akan semakin berani.
Netanyahu menuduh pemimpin asing memberi Hamas 'hadiah' pengakuan negara Palestina
Para pemimpin oposisi juga menggunakan bahasa serupa.
Yair Lapid, yang memimpin partai Yesh Atid yang berhaluan tengah, menggambarkannya sebagai "bencana diplomatik, langkah yang buruk, dan imbalan atas teror."
Namun, kecil kemungkinan pemerintah Israel akan mengubah arah sebagai akibat dari pengakuan tersebut, kata para ahli. "Ini tidak akan berpengaruh sedikit pun terhadap pembuatan kebijakan," kata Yaakov Amidror, mantan penasihat keamanan nasional untuk Netanyahu dan analis di Jerusalem Institute for Strategic Studies, sebuah lembaga think tank konservatif.
Presiden Macron untuk mengakui Palestina diambil karena alasan politik, terutama untuk mendapatkan dukungan di antara minoritas Muslim besar di Prancis, sebuah klaim yang dibuat berulang kali oleh politisi Israel dalam beberapa minggu terakhir.
Bulan lalu, Netanyahu mengklaim bahwa antisemitisme telah "melonjak" di Prancis setelah keputusan negara itu untuk mengakui negara Palestina pada bulan September.
Netanyahu memimpin pemerintahan paling sayap kanan dalam sejarah Israel dan koalisinya sebagian bergantung pada dukungan berkelanjutan dari faksi-faksi Zionis religius ekstremis , yang memiliki visi mesianis tentang takdir Israel, dan partai-partai religius ultra-Ortodoks .
Keduanya mungkin tidak akan terpengaruh oleh kemarahan internasional terhadap pelaksanaan perang di Gaza, di mana serangan Israel telah menewaskan lebih dari 65.000 orang dan menghancurkan wilayah tersebut, atau perluasan pemukiman yang terus berlanjut di Tepi Barat yang diduduki.
Begitu pula dengan pendukung partai Likud yang lebih arus utama, sayap kanan, yang dipimpin Netanyahu.
Gideon Rahat, seorang profesor ilmu politik di Universitas Ibrani Yerusalem, mengatakan bahwa setidaknya dalam jangka pendek, Netanyahu dan sekutunya akan diperkuat oleh "tsunami diplomatik?," sebagaimana disebut oleh media lokal, yang sedang dihadapi Israel.
"Banyak orang di Israel yang khawatir akan isolasi internasional, tetapi kebanyakan dari mereka bukanlah pendukung Netanyahu, apalagi basisnya ," kata Rahat.
Namun, hal ini dapat berubah seiring dengan semakin dalamnya isolasi, dan dapat menjadi faktor bagi pemilih sentris yang signifikan secara politik pada pemilu, yang harus diadakan sebelum November tahun depan.
Dr. Shira Efron, ketua kebijakan Israel terkemuka dan peneliti senior di Rand Corporation, mengatakan bahwa pengakuan tersebut dipandang di Israel sebagai "permainan zero-sum."
"Pandangannya adalah jika Anda mendukung penentuan nasib sendiri Palestina, Anda tentu saja menentang Israel," ujarnnya.
"Kekhawatirannya adalah jika hal itu bisa terjadi di Inggris atau Prancis, maka hal itu bisa terjadi di mana saja."
Efron mengatakan solusi dua negara kini menjadi "merek yang beracun bagi warga Israel", meskipun jajak pendapat menunjukkan tingkat dukungan yang tinggi untuk semacam "pemisahan", yang menunjukkan bahwa politik pemerintah saat ini tidak mewakili apa yang diinginkan sebagian besar warga Israel.
Israel telah berjanji untuk membalas negara-negara yang mengakui Palestina, terutama Prancis. Pilihannya termasuk mengusir diplomat dan menutup konsulat di Yerusalem Timur.
"Sentimen di kalangan warga Israel bahwa kita harus menunjukkan kepada negara-negara yang mengambil keputusan bodoh ini bahwa konsekuensinya akan sangat berbeda dari yang mereka bayangkan," kata Amidror.
Ada pula kekhawatiran bahwa Netanyahu akan terus melanjutkanl aneksasi besar-besaran Tepi Barat, meskipun sebagian besar pengamat meyakini hal ini tidak mungkin, sebagian karena kekuatan Arab seperti Uni Emirat Arab telah menyatakan bahwa hal ini akan melewati "garis merah".
Para pejabat di Israel telah memberi isyarat bahwa Netanyahu akan membuat keputusan tentang cara menanggapinya setelah melakukan perjalanan ke Washington untuk bertemu dengan Presiden Trump dan pejabat senior AS pada akhir bulan.
Namun, pada hari Minggu, Netanyahu mengisyaratkan percepatan perluasan permukiman di Tepi Barat yang diduduki , yang dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional.
"Dari perspektif Israel, ini merupakan dilema yang sulit: tidak ada yang ingin mengambil langkah yang akan meningkatkan isolasi Israel, tetapi di sisi lain, jelas bahwa Israel tidak boleh membiarkan dirinya diinjak-injak.
Hal itu akan mengundang lebih banyak tekanan dan meyakinkan lebih banyak negara untuk bergabung dalam gelombang pengakuan, meskipun tidak segera," tulis Itamar Eichner, dari surat kabar Yedioth Ahronoth.
Rasa Frustasi pada Israel
Langkah itu didasari oleh rasa frustrasi atas perang Gaza dan dimaksudkan untuk mendorong solusi dua negara.
"Kami tetap berkomitmen pada resolusi fundamental Dewan Keamanan PBB dan tetap berkomitmen pada posisi internasional tentang kemungkinan penyelesaian masalah Palestina-Israel berdasarkan pendekatan dua negara," tegas juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, kepada wartawan ketika ditanya soal pengakuan untuk negara Palestina yang diberikan keempat negara Barat tersebut.
"Ini tetap menjadi pendekatan kami, dan kami meyakini bahwa ini adalah satu-satunya cara yang mungkin untuk menemukan solusi bagi konflik yang sangat kompleks dan telah berlangsung lama ini, yang kini mungkin berada dalam tahap paling akut dan tragis dalam sejarahnya," sebutnya.
Keputusan keempat negara itu, yang secara tradisional biasanya bersekutu dengan Israel, menyusul lebih dari 151 negara lainnya yang terlebih dahulu mendukung aspirasi Palestina untuk membentuk negara sendiri yang merdeka dari pendudukan Tel Aviv.
Sementara Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyambut baik pengakuan tersebut, yang disebutnya akan membantu membuka jalan bagi "negara Palestina untuk hidup berdampingan dengan negara Israel dalam keamanan, perdamaian, dan hubungan bertetangga yang baik."
Kota Gaza & Palestina Dimata Israel
Perang dimulai dengan penyerangan Hamas, Â Oktober 2023, hingga saat ini. Bagi kolumnis Nahum Barnea, Gaza adalah medan yang harus dihancurkan. Istilah Israel "memotong rumput". Gaza telah menjadi "koloni hukuman" disebut sebagai pembunuhan genosida. Gaza adalah "pulau iblis" dan "Alcatraz ala Israel."
Namun sangat mengherankan, PBB baru pertengahan bulan, membuat laporan tentang  "genosida" Israel di Gaza. Disamping itu, kita ketahui hingga kini Amerika tetap tidak mengakui berdirinya negara Palestina dengan tetap menggunakan Hak Veto di PBB.
Palestina dimata PM Israel Menachem Begin menyebutnya sebagai, "binatang berkepala dua", Kastaf Pertahanan Israel, Raul Eitan, menyebutnya sebagai, "kecoa mabuk yang berlarian dalam botol", seperti  "belalang yang hendak menjadi elang" yang kepalanya harus "dihantam ke batu dan dinding" ( PM Yitzak Shamir, atau yang istilah umum, " Araboushim" seperti sinonim sebutan  "nigger" (untuk orang negro dan "kike" untuk orang Yahudi.
Israel punya sikap, tidak ingin berhubungan dengan mereka. Jika mereka pergi, tidak apa2, jika mereka mati, tidak apa-apa,
Palestina adalah isu Global
Kini adanya dukungan besar dari lebih dari 151 negara anggota PBB, posisi Palestina berubah karena adanya sebuah simbolik politik, Â kesetaraan hukum internasional, dan kekuatan diplomasi sebagai negara berdaulat. Palestina menjadi masalah global. Kabar terakhir perundingan soal Gaza, Palestina akan di kordinir Saudi Arab dan negara-negara muslim untuk memulai dialog.
Selanjutnya bagi Israel, Amerika adalah tetap sebagai Sang Kaisar dan Big Brother yang selalu memberikan perlindungan.
Sangat disayangkan "Remote Control" dunia hanya memiliki dua tombol: "Play" dan "Fast Forward", sementara yang kita inginkan adalah "Pause" .
"Perang adalah perdamaian" meminjam istilah George Orwell dalam novelnya 1984.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI