Continuous Improvement tidak hanya berlaku untuk standar kurikulum saja tapi juga untuk Guru, Sekolah, Kepala Sekolah, Staf Pengajar, Peserta Didik dan Pihak Terkait lainnya.
K-13 menuntut Guru untuk melakukan Continuous Improvement dengan mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya karena perkembangan teknologi yang pesat agar Peserta Didik lebih mudah dalam mendapatkan informasi.
Sedangkan kurikulum Merdeka berfokus pengembangan karakter dan kompetensi Peserta Didik untuk mendalami minat dan bakatnya secara fleksibel ditengah perkembangan teknologi. Ini tidak akan mencapai tujuannya jika prinsip Continuous Improvement tidak diterapkan.
Pengembangan karakter dan kompetensi tidak bisa diperoleh hanya dengan duduk di kelas tetapi Peserta Didik dituntut untuk melakukan Continuous Improvement untuk mencapai karakter dan kompetensi yang diinginkan.
Ada 3 Kunci Sukses yang perlu diterapkan:
- Belajar (Learning)
- Lakukan (Doing)
- Kembangkan terus menerus (Continuous Improvement)
Jadi setelah belajar, di dunia nyata Peserta Didik harus melakukan tentang apa yang telah dipelajarinya. Jika dirasa ada yang kurang cocok, Peserta Didik harus berpikir untuk mengembangkan agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dua langkah pertama (Belajar dan Lakukan) sudah diterapkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan adanya Praktek Kerja Lapangan (PKL) tetapi belum diterapkan di Sekolah Menengah Atas (SMA).
Karena itu lulusan SMK biasanya sudah siap terjun ke dunia kerja dan tinggal melakukan Continuous Improvement disana untuk mengembangkan diri.
Jika PKL juga diterapkan di SMA tentunya akan lebih mempercepat Peserta Didik untuk mencapai kompetensinya dengan menerapkan Continuous Improvement di Perguruan Tinggi jika mereka tidak terjun ke dunia kerja.
Disinilah kita perlu membuka wawasan tentang dunia kerja internasional di abad ke 21 ini bahwa Continuous Improvement adalah suatu kewajiban.