Selama perang kemerdekaan, ia menunjukkan kepemimpinan langsung dengan memimpin pasukan gerilya yang dikenal sebagai Pasukan Jelata di daerah Wonosegoro. Ia juga menulis dokumen penting berjudul "Jimat Perang," yang dimaksudkan untuk membangkitkan semangat juang dan menumbuhkan karakter kebangsaan yang kuat di kalangan pejuang kemerdekaan. Teks yang kuat ini bahkan digunakan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya di radio, menyoroti pengaruhnya. Bahkan ketika ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, diduduki oleh Belanda, ia dan keluarganya mengungsi ke daerah Gunung Kidul, di mana ia terus menjaga kontak penting dengan pasukan gerilya.
Warisan Hidup: Sebuah Teladan Abadi
Ki Ageng Suryomentaram mendedikasikan sebagian besar hidupnya, sekitar 40 tahun, untuk menyelidiki alam kejiwaan dengan cermat menggunakan dirinya sendiri sebagai "kelinci percobaan." Eksperimen diri yang ketat ini membentuk dasar dari pendekatannya yang unik terhadap pengetahuan. Ia secara khusus lebih menyukai istilah "Kawruh" (pengetahuan yang berasal dari pengalaman nyata dan langsung) daripada "Ngelmu" (pengetahuan yang diperoleh melalui studi formal atau tradisi) untuk menggambarkan wawasannya, menekankan sifat pengalaman dari pemahamannya.
Seluruh perjalanan hidupnya berfungsi sebagai bukti kuat dari komitmen radikal terhadap kehidupan yang otentik, secara sadar menanggalkan ekspektasi masyarakat dan validasi eksternal, dan tanpa henti mengejar pemahaman diri yang sejati serta kebahagiaan batin. Ia dikenang dan dihormati sebagai sosok bangsawan yang mewujudkan kerendahan hati, kesederhanaan, egaliterisme, dan hubungan yang mendalam dengan rakyat biasa (merakyat).
Kisah hidup Ki Ageng Suryomentaram adalah sebuah epik tentang pencarian makna dan kebahagiaan sejati yang melampaui kemewahan dan status duniawi. Dari seorang pangeran yang bergelimang harta dan privilese, ia memilih jalan kesederhanaan, penolakan materi, dan penyelidikan diri yang mendalam. "Kegelisahan" batinnya yang tak kunjung padam, diperparah oleh tragedi pribadi, mendorongnya untuk berulang kali meninggalkan istana, hidup sebagai rakyat biasa, dan mencari jawaban di berbagai tradisi spiritual.
Kegagalan upaya-upaya eksternal untuk membawa kedamaian abadi akhirnya mengarahkannya pada kesadaran bahwa kebahagiaan sejati harus ditemukan dari dalam diri. Penolakan tegasnya terhadap pensiun besar dari pemerintah kolonial, serta dedikasinya selama puluhan tahun untuk "Kawruh" (pengetahuan yang didapat dari pengalaman langsung) melalui dirinya sendiri sebagai "kelinci percobaan," menunjukkan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap otonomi dan keaslian.
Meskipun menarik diri dari kekuasaan formal, Ki Ageng Suryomentaram tetap berpengaruh besar dalam kancah nasional. Keterlibatannya dalam Sarasehan Selasa Kliwon, pendirian Taman Siswa, dan perannya yang seringkali tidak terungkap dalam pembentukan PETA, menegaskan bahwa pencarian pribadinya akan kebahagiaan sejati tidaklah egois, melainkan terjalin erat dengan kesejahteraan dan kemerdekaan bangsanya. Hidupnya menjadi teladan nyata bahwa kepemimpinan sejati dan dampak sosial yang mendalam dapat lahir dari kesadaran diri yang radikal dan komitmen yang teguh terhadap keaslian, bahkan ketika itu berarti menolak struktur kekuasaan konvensional. Warisan terbesarnya bukanlah ajaran yang rumit, melainkan kisah hidupnya sendiri—sebuah bukti hidup tentang kekuatan transformatif dari pencarian diri dan kesederhanaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI