Kembali ke kraton, kegelisahan Ki Ageng Suryomentaram tak kunjung padam. Kehidupan istana tetap membosankan dan tidak memuaskan. Percaya bahwa kekayaan adalah akar ketidakpuasannya, ia membuat keputusan radikal: menjual semua miliknya. Seluruh perabotan rumah tangganya dilelang. Mobilnya dijual dan hasilnya diberikan kepada sopirnya. Kudanya dijual dan uangnya diberikan kepada perawat kuda. Bahkan, semua pakaiannya dibagikan kepada para pembantunya. Namun, bahkan setelah melepaskan semua kekayaan materi, "kegelisahan" beliau tidak mereda; ia masih merasa tidak puas dan terus merindukan "bertemu orang."
Hari-harinya kemudian diisi dengan asketisme spiritual yang intens (tirakat) dan retret (uzlah) ke berbagai tempat suci dan terpencil seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu, dan Parangtritis. Ia semakin rajin salat dan mengaji, serta aktif mencari ilmu dari guru-guru terkenal dan kyai-kyai terhormat. Namun, meskipun telah berusaha keras, ia masih merasakan ketidakpuasan yang terus-menerus. Pencariannya akan pemahaman juga membawanya untuk mempelajari agama lain, termasuk Kristen dan Teosofi, tetapi ini pun terbukti tidak mampu meredakan rasa tidak nyamannya yang mendalam.
Kegagalan setiap upaya eksternal ini—hidup sebagai rakyat biasa, melepaskan semua kekayaan, mencari jawaban dari sumber spiritual—menjadi titik balik penting. Ini menunjukkan bahwa sumber sebenarnya dari ketidakpuasannya bukanlah keadaan eksternal, melainkan kekosongan atau pertanyaan eksistensial yang lebih dalam dan internal yang membutuhkan solusi yang lebih radikal dan dihasilkan dari diri sendiri.
Pengunduran Diri Kedua dan Hidup di Bringin: Menemukan Kebahagiaan Sejati
Setelah Sri Sultan Hamengkubuwono VIII naik takhta pada tahun 1921, Ki Ageng Suryomentaram, yang masih dibebani oleh kegelisahan batinnya, berulang kali mengajukan permohonan resmi untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pangeran. Permohonan gigih ini akhirnya dikabulkan.
Beliau ditawari pensiun yang cukup besar, 333,50 gulden per bulan. Namun, menunjukkan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap kemandirian, ia dengan tegas menolak tawaran ini. Alasannya, ia tidak ingin terikat atau berhutang budi kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ia hanya bersedia menerima sejumlah kecil 75 gulden per bulan dari Sultan Hamengkubuwono VIII, sebagai isyarat simbolis, "penanda sebab ia masih kerabat keraton." Tindakan ini secara kuat menggambarkan keinginannya untuk memutuskan ikatan dengan pengaruh kolonial sambil tetap menjaga hubungan kekeluargaan yang hormat.
Setelah pengunduran dirinya yang kedua dan terakhir, ia pindah ke Desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah, di mana ia memulai hidup baru sebagai seorang petani. Dalam fase baru ini, ia dikenal luas sebagai Ki Gede Suryomentaram atau, lebih akrabnya, Ki Gede Bringin. Kehidupan baru di Bringin ini memberinya rasa kebebasan yang mendalam, memungkinkannya untuk lebih sepenuhnya menjelajahi dan menemukan jawaban atas kegelisahan hidupnya yang terus-menerus. Ia terus menjalani kehidupan yang sangat sederhana, mempertahankan pakaian khasnya yang terdiri dari celana pendek, sarung yang diselempangkan di pundak, kaus oblong, rambut yang dicukur pendek, dan kaki telanjang.
Sekitar tahun 1925, setelah menjadi duda selama kurang lebih 10 tahun, Ki Ageng Suryomentaram menikah lagi. Pada suatu malam di tahun 1927, ia dengan terkenal membangunkan istrinya yang baru, Nyi Ageng Suryomentaram, dari tidur lelapnya. Kisah ini sering diceritakan sebagai momen realisasi atau wawasan pribadi yang mendalam, sebuah titik balik dalam pencarian kebahagiaannya.
Dari Pencarian Diri Menuju Perjuangan Bangsa
Meskipun memilih hidup sederhana dan fokus pada pencarian diri, Ki Ageng Suryomentaram tidak sepenuhnya menarik diri dari dinamika sosial-politik bangsanya. Ia adalah peserta kunci dalam kelompok diskusi penting yang dikenal sebagai Sarasehan Selasa Kliwon, bersama dengan Ki Hadjar Dewantara dan individu-individu lain yang sepaham. Forum ini membahas strategi perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan dari diskusi-diskusi inilah mereka sepakat untuk membentuk gerakan moral yang berfokus pada penanaman semangat kebangsaan di kalangan pemuda melalui pendidikan nasional. Inisiatif ini secara langsung mengarah pada pendirian sekolah Taman Siswa yang terkenal pada tahun 1922. Di dalam Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara terpilih sebagai ketua, sementara Ki Gede Suryomentaram secara khusus ditugaskan dengan peran krusial untuk mendidik orang dewasa dan orang tua. Selama pertemuan Selasa Kliwon yang berpengaruh inilah Ki Hadjar Dewantara secara resmi mengubah namanya menjadi Ki Ageng Suryomentaram, mengakui kedudukan spiritual dan intelektualnya yang unik.
Lebih jauh lagi, Ki Ageng Suryomentaram secara eksplisit disebut sebagai tokoh sentral di balik pembentukan PETA (Pembela Tanah Air), sebuah organisasi militer krusial yang dibentuk selama pendudukan Jepang. Ia membentuk komite bernama Manggala Sembilan untuk secara resmi mengajukan permintaan kepada Asano, anggota dinas rahasia Jepang, untuk pembentukan tentara nasional. Permintaan ini dikirim ke Tokyo dan akhirnya diterima. Ia kemudian mengorganisir pendaftaran sukarelawan tentara, yang mendapat respons positif yang luar biasa dari masyarakat. Para sukarelawan ini kemudian membentuk embrio dari apa yang akan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) setelah Indonesia merdeka.