Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bergerak atau Kotak Kosong?

6 September 2018   11:30 Diperbarui: 6 September 2018   14:36 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dumielauxepices.net

Siapapun yang waras semestinya geram. 

WAKIL yang dipilih rakyat ternyata berbaris menjadi pesakitan KPK. Lembaga yang ditugaskan khusus untuk menangani korupsi. Mulai dari tingkat pusat bahkan pada level Ketua DPR RI (Setya Novanto) sampai tingkat lokal, seperti 41 dari 45 anggota DPR Daerah kota Malang kemarin. 

Mereka sesungguhnya adalah orang-orang TERPILIH melalui pemilihan berbiaya sangat mahal yang diselenggarakan Negara setiap 5 tahun sekali. Kepada mereka, amanah perwakilan kepentingan KITA dalam berbangsa dan bernegara, diserahkan. Bukan untuk disalah-gunakan. Apalagi diperkosa dengan cara yang semakin nyata dan terang-terangan kebiadabannya. 

Kita memang patut bersyukur dan memberi dukungan sepenuhnya kepada KPK agar tetap dapat bekerja menjalankan tugas pokok dan fungsi penting itu: menberantas korupsi. Tapi kita tak mungkin terus-menerus mempasrahkan urusan tersebut kepada mereka. Tanpa upaya memperbaiki hal-hal yang menyebabkan laku korupsi itu tak berkurang. Malah semakin marak, menjadi-jadi, dan tak peduli. 

Perkembangan perhatian dan kegelisahan publik terhadap prilaku lancung sekaligus biadab itu, sesungguhnya sangat mengkhawatirkan. Sebab, dengan semakin sering dan begitu banyaknya sosok dari berbagai lapisan yang terjaring operasi KPK hari ini, tingkat keterkejutan dan gaung berita di tengah masyarakat, semakin meredup menuju sirna. 

Seolah-olah kejahatan luar biasa yang justru dilakoni oleh mereka yang sesungguhnya tergolong warga istimewa tersebut --- mulai wakil rakyat, pejabat pemerintah, hingga penegak keadilan adalah wajar dan biasa-biasa saja. 


Jika semua ini dibiarkan, bukanlah mustahil jika optimisme terhadap kesungguhan memberantas korupsi ini, sirna. Hal yang setali-tiga-uang dengan penggelaran karpet merah bagi permisifisme terhadap keberadaan musuh pertama dan utama bangsa tersebut. 

Jika tak ada langkah revolusioner yang kita upayakan, bukanlah khayalan jika perhatian dan dukungan terhadap lembaga KPK, lambat laun surut dan meredup. Sebab, pragmatisme dan anggapan bahwa semua upaya yang dilakukan hanyalah suatu kesia-siaan, kelak akan menjaring pendukung yang menemukan pembenarannya. 

Sebab akan sulit dihindari jika virus mematikan itu, lambat laun semakin menyebar dan terpapar dalam keseharian kehidupan masyarakat luas.

Kita memang tersandera oleh sistem demokrasi yang dibangun terburu-buru saat Gerakan Reformasi bergulir 20 tahun lalu. Tatanan yang tak lengkap dan penuh kekurangan. Lalu kemudian menerungku bangsa ini dalam lingkaran setan sistem kekuasaan yang terbentuk. 

Bagaimanapun, sulit menyangkal jika laku korupsi era Reformasi ini lebih baik bahkan lebih sopan dibanding rezim kekuasaan Orde Baru. Setidaknya ada 2 cara yang dapat dan perlu dilakukan rakyat untuk melawan kezaliman ini. 

Pertama melalui gerakan massa untuk memaksa mereka mundur seperti yang terjadi tahun 1998 lalu. Hal yang kini tak mudah dilakukan. Sebab, ketika kita muak lalu bergerak menjatuhkan Orde Baru dulu, Suharto dan kroninya merupakan musuh bersama berbagai pihak. 

Kini, kita terpecah dalam berbagai faksi yang kadang-kadang justru terperangkap memanfaatkan kekacauan yang terjadi, demi upaya mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok. 

Reformasi 1998 itu juga memberi pengalaman pahit yang sangat berharga. Perubahan seketika (revolusi) selalu disertai resiko (collateral damages) yang jauh lebih buruk. 

Cara kedua tetap membutuhkan gerakan massa. Tapi bukan dengan cara menuntut dan memaksa pembubaran mereka seperti dulu. Walau tak mudah, sistem demokrasi yang sudah ada dan berdiri sekarang perlu kita pertahankan. Sekaligus disempurnakan. 

Oleh karena itu, kita perlu menggunakan keistimewaan yang dimiliki hak suara untuk memilih dan menempatkan mereka di lembaga eksekutif (mulai dari Presiden hingga Bupati) maupun lembaga perwakilan rakyat. 

Jangan sia-siakan! 

Betul kalau sebagian besar --- mungkin mendekati 100 persen, anggota DPR maupun DPRD yang ada sekarang perlu disingkirkan atau diganti dengan darah segar dan penuh gairah membenahi sekaligus membangun Indonesia. Tapi kita perlu memastikan agar tak tertipu bulat-bulat oleh janji kosong seperti yang telah terbukti berulang kali sejak 1999 lalu. 

Kita perlu bersatu untuk mendesaknya. 

Pertama, lupakan soal partai politik yang mengusung setiap yang mencalonkan diri pada tahun 2019 mendatang. Sebaliknya, kita harus mampu mendesak komitmen tegas mereka untuk menyingkirkan kepentingan partainya dan menempatkan kita sebagai prioritas satu-satunya. 

Kedua, kita harus bisa memastikan jaminan mereka untuk menyingkirkan rekan-rekan separtainya sendiri yang ternyata terbukti bersikap lancung dan biadab, seperti yang dipertontonkan sebagian (besar) wakil rakyat sekarang. 

Ketiga, kita hanya memilih mereka yang bersedia membuka jati dirinya. Mulai dari rantai keluarga, harta kekayaan, dan aktifitas harian. Semuanya tertera jelas pada kanal khusus yang dapat diakses publik setiap saat. Menjadi wakil kita (rakyat) adalah PENGORBANAN. Siapapun yang tak bersedia melakukannya layak dicurigai memiliki kepentingan pribadi atau kelompok. Kita mungkin bisa berharap kepada "new kids on the block" yang mengikhlaskan diri bertarung dalam pemilihan 2019 nanti. Bukan kepada mereka yang bersalin rupa dengan lambang dan seragam kelompok yang baru. 

Keempat, jika tak ada yang memenuhi ketiga hal di atas, mari kita pilih "kotak kosong". Tetap datang ke bilik suara. Coblos semua tanda gambar. Umumkan kepada dunia bahwa tak satupun diantara mereka yang dapat kita percaya untuk menerima amanah. 

Mari gunakan kekuasaan mutlak yang dimiliki masing-masing untuk mendesak mereka berpaling kepada kita selaku pemilik suara. 

Jilal Mardhani, 6 September 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun