Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pers dan Pilar Demokrasi

7 Februari 2018   09:45 Diperbarui: 7 Februari 2018   19:02 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kontributor Bogor, Ramdhan Triyadi Bempah, kompas.com)

Pers memang harus menjaga jarak dari semua kekuasaan. Karena mereka adalah salah satu pilar yang menegakkan demokrasi.

Paska Reformasi 1998, kebebasan mereka memang mencapai puncaknya. Kekhawatiran diberangus atau di-"persekusi" oleh penguasa, sebagaimana yang dialaminya di penghujung era Demokrasi Terpimpin dan selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, telah berakhir. 

Setelah itu, sejumlah "kekerasan" terhadap dunia pers justru banyak dilakukan oleh kalangan partikelir yang tak nyaman dengan pemberitaan mereka. Laku yang semestinya tak perlu dan tak boleh dibiarkan dalam kehidupan yang merayakan masyarakat sipil yang demokratis.

###

Setelah sekian lama melalui masa kekuasaan pemerintahan yang represif, kemerdekaan berekspresi dan menyatakan pendapat justru disikapi dengan gamang. Keberpihakan pada kelompok atau golongan tertentu seolah hal yang niscaya sehingga siapa saja bisa terjebak pada sikap saling mencurigai. Termasuk dalam menyikapi pemberitaan media.

Salah satu hal yang amat disayangkan terjadi, paska Reformasi 1998 kemarin, adalah berkelindannya kekuasaan politik, modal, dan kepemilikan media. Hal yang justru menyuburkan kecurigaan terhadap independensi mereka.

Persepsi yang berkembang akibat ulah sebagian media itu, kemudian meluas. Seolah-olah semuanya tak lagi independen, tapi memihak pada kepentingan golongan atau kelompok tertentu.

Tempo berulang kali mengalaminya. Termasuk ketika memberitakan dugaan aliran dana ke relawan yang mendukung Ahok lewat kegiatan pengumpulan ktp dan tanda tangan masyarakat yang waktu itu menginginkan pencalonannya kembali.

Bagi sebagian simpatisan Gubernur Basuki Tjahja Purnama, pemberitaan tersebut tak dilihat lagi sebagai bagian dari tugas mereka dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya. Sikap kritis dan berbeda justru dianggap permusuhan.

Kali ini, Tempo melakoni fungsi jurnalistiknya untuk menyoroti soal kemunduran proses reformasi TNI. Sesuatu yang memang nyata berkembang selama era kepemimpinan Joko Widodo.

Masyarakat sipil Indonesia memang tergagap-gagap melakoni kemerdekaannya. Mereka masih lebih banyak bertikai memperebutkan kekuasaan dibanding membangun kehidupan demokratis masyarakat sipilnya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun