Mohon tunggu...
Jihan Isna Aini
Jihan Isna Aini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa yang selalu dikejar tugas. Akan tetapi saya memiliki hobi tidur.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Ganda Perempuan di Bali

2 Mei 2024   14:46 Diperbarui: 2 Mei 2024   14:48 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsep Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang dikemukakan merupakan proyek pemerintah yang lahir dari konsep kesetaraan gender dari budaya Barat, yaitu KKG akan terwujud apabila kaum laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang sama, sedangkan konsep kesetaraan gender menurut budaya Timur adalah KKG akan terwujud apabila kaum laki-laki dan perempuan saling bekerja sama secara harmonis dan seimbang dalam mengerjakan perannya masing-masing. Konsep KKG dari pemerintah yang berasal dari konsep budaya Barat dibenarkan oleh Megawangi (1999) yang menyatakan konsep kesetaraan gender menurut UNDP (United Nations Development Program) sebagai konsep kesetaraan kuantitatif (50/50), yaitu kesetaraan sama rata antara pria dan wanita dalam usia harapan hidup, pendidikan, jumlah pendapatan, dan partisipasi politik. Pada budaya Bali secara khusus dan di Indonesia secara umum tidak terjadi permasalahan dalam bidang gender, apabila ada perbedaan terhadap sistem yang dikenakan pada kaum laki-laki dan perempuan disebabkan karena sumber daya yang dimiliki pada laki-laki dan perempuan memang berbeda, sehingga jika memperoleh perlakuan yang dibedakan pun adalah merupakan sesuatu yang wajar. Kaum perempuan Bali tidak merasa mengalami ketidakadilan gender karena memaknai setiap perannya sebagai sebuah kewajiban, meskipun sebenarnya kaum perempuan Bali merasakan beban kerja akibat ketimpangan peran yang diterimanya.

 Perempuan selama ini sering diposisikan sebagai kaum marginal dalam berbagai bidang kehidupan. Posisi perempuan seperti itu juga dialami oleh perempuan Bali, baik secara akademik maupun ekonomi dalam kerangka pembangunan yang dilaksanakan. Couteau (1994) mengkaji pemikiran tokoh perempuan Bali kontemporer yaitu Ida Ayu Agung Mas. Menurutnya, secara ideal perempuan Bali setara dengan laki-laki. Namun dalam kenyataannya tidak demikian adanya, justru laki-laki yang lebih berkuasa serta hak dan gerak perempuan sangat dibatasi, sehingga menurut Andani (2017) dapat menyebabkan ketimpangan gender. Namun demikian, menurut Darmayanti dan Budarsa (2021) perempuan yang lebih banyak membantu perekonomian keluarga pada masa Pandemi Covid-19. Berikut disajikan jumlah penduduk di Provinsi Bali berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2022 :

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa 50,21% dari total penduduk Provinsi Bali pada tahun 2022 adalah laki-laki, sedangkan 49,79% adalah penduduk perempuan. Perbedaan jumlah penduduk berdasarkan gender tersebut sesungguhnya bukan masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Dalam kenyataannya, perbedaan gender ternyata melahirkan ketidakadilan terutama bagi perempuan, termasuk bagi perempuan Bali dalam pengelolaan pariwisata di Bali. Ketidakadilan yang menimpa perempuan Bali yang bekerja di sektor pariwisata antara lain berupa pembentukan stereotip atau pelabelan bahwa pekerja perempuan memiliki keterbatasan dalam kemampuan bekerja di bidang pengelolaan pariwisata, sedangkan menurut Syafruddin dkk. (2020) menyatakan pekerja perempuan di sektor pariwisata justru memiliki kemampuan serta mobilitas yang tinggi.

Selama masa pandemi, perempuan dinilai beberapa kalangan bisa mengambil peran strategis dalam rangka menekan penyebaran virus Covid-19. Hal ini disampaikan Susilowati dalam artikelnya yang berjudul 'Optimalisasi Peran Perempuan sebagai Strategi Alternatif Kebijakan Publik dalam Menekan Penyebaran Pandemi Covid-19'. Susilowati menilai bahwa perempuan memiliki peranan cukup signifikan dalam upaya menekan penyebaran Covid-19. Pencegahan virus Covid-19 berbasis keluarga sebagai unit terkecil dalam tatanan bernegara dirasa cukup berpeluang dalam menekan angka penyebaran Covid-19. Pandemi tidak hanya merisaukan bagi kelompok pekerja pariwisata saja, akan tetapi juga berdampak secara langsung pada kehidupan ekonomi mereka. Sementara, kelompok ibu rumah tangga yang selama ini berkecimpung dalam ranah domestik juga tidak lepas dari efek domino pandemi. Kehadiran pandemi memberikan beban tambahan kepada kelompok ibu Rumah Tangga yang cukup berpengaruh terhadap psikologis mereka.

Industri rumah tangga memiliki peran yang strategis dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberlangsungan hidup usaha menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh setiap industri rumah tangga. Kemampuan dalam hal dan mempertahankan keberlangsungan usaha dapat dilihat dari pengelolaan sumber daya yang dimiliki oleh setiap usaha. Industri Rumah Tangga merupakan jenis kegiatan ekonomi yang dipusatkan di rumah yang dikelola keluarga yang umumnya berawal dari usaha keluarga secara turun-temurun yang memberikan manfaat bagi wilayah sekitarnya. 

Perempuan Bali dikenal sebagai sosok yang kuat dan tangguh. Mereka mampu menjalani dan menjalankan berbagai peran dalam kehidupan adat, agama dan ekonomi. Hal ini disampaikan oleh Komalasari (2017) bahwa sikap pekerja keras dan ketangguhan perempuan Bali merupakan warisan masa lalu dalam budaya agraris yang menjadi penopang kehidupan masyarakat Bali. Kehadiran perempuan Bali sebagai penopang ekonomi selama pandemi ini bukanlah sesuatu yang baru di Bali. Mereka tetap menjalankan kewajiban sebagai istri dan ibu di kedua wilayah. Sebagai istri mereka tetap melakukan aktivitas memasak, mencuci, bersih-bersih dan sebagainya. Sebagai seorang ibu mereka tetap mencurahkan perhatian kepada anak terlebih sekolah daring yang diterapkan menuntut mereka untuk tetap mendampingi anak dalam proses belajar. Kondisi ini membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap kehidupan para perempuan ini, sehingga peran ganda tidak bisa mereka hindari. Fenomena peran ganda atau double burden menurut Michele (dalam Hidayati, 2015) dijelaskan sebagai konsekuensi yang harus diterima perempuan ketika memutuskan untuk terjun ke ranah publik. Kondisi ini mengantarkan mereka pada posisi dualisme kultural yang mereka emban. Dualisme kultural yang dimaksud terkait dengan peran tradisi dan transisi perempuan. Peran tradisi adalah peranan perempuan dalam domestic sphere yang terkait dengan tugas dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga. Sementara peran transisi terkait dengan partisipasi perempuan dalam public sphere sebagai pekerja, anggota masyarakat dan sebagai manusia pembangunan. Dengan melihat peran perempuan Bali sebagai istri pekerja pariwisata Bali dalam ranah domestik dan publik, akan ditemukan beban ganda yang mereka alami selama masa pandemi.

Kehadiran perempuan Bali sebagai penopang ekonomi selama Pandemi Covid-19 bukanlah sesuatu yang baru di Bali. Mereka tetap menjalankan kewajiban sebagai istri dan ibu di kedua wilayah. Sebagai istri mereka tetap melakukan aktivitas memasak, mencuci, bersih-bersih dan sebagainya. Sebagai seorang ibu mereka tetap mencurahkan perhatian kepada anak terlebih sekolah daring yang diterapkan menuntut mereka untuk tetap mendampingi anak dalam proses belajar.

Peran ganda (double burden) menurut Michele (2015) sebagai konsekuensi yang harus diterima perempuan ketika memutuskan untuk terjun ke ranah publik. Kondisi ini mengantarkan perempuan pada posisi dualisme kultural yang harus mereka pikul. Dualisme kultural yang dimaksud terkait dengan peran tradisi dan transisi perempuan. Peran tradisi adalah peranan perempuan dalam domestic sphere yang terkait dengan tugas dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga. Sementara peran transisi terkait dengan partisipasi perempuan dalam public sphere sebagai pekerja, anggota masyarakat dan sebagai manusia yang harus ikut mengisi pembangunan. 

Dengan melihat keterlibatan perempuan Bali dalam pengelolaan pariwisata, hal ini sejalan dengan Karmilah (2013) bahwa peran ganda perempuan tidak hanya terjadi di bidang ekonomi dan sosial, tetapi juga terjadi di industri pariwisata yang saat ini merupakan andalan bagi pendapatan asing setelah sektor minyak dan gas. Hal ini juga berarti bahwa perempuan Bali sekaligus akan berkiprah pada dua ranah yaitu ranah domestik dan ranah publik. Keterlibatan pada kedua ranah tersebut memposisikan perempuan Bali sebagai perempuan dengan etos kerja tinggi. Antusiasme perempuan Bali terjun ke sektor publik untuk mencari nafkah dapat mengakibatkan sumbangan perempuan terhadap aset ekonomi rumah tangga mereka menjadi amat berarti. Hal ini tentu mempengaruhi posisi perempuan di lingkungan keluarga, bahkan bisa terhindar dari posisi ter-subordinasi-kan oleh laki-laki. Perempuan Bali juga bergairah sebagai pekerja rumahan yang dipadukan pada kegiatan domestik. Fenomena ini disebabkan oleh latar belakang perempuan Bali untuk memanfaatkan waktu luang serta adanya struktur sosial dan infrastruktur material sebagai penguatan terhadap etos kerja. Dalam kearifan lokal Bali, etos kerja telah digubah dalam karya berbahasa Bali yang bernama Salampah Laku (Suastika 2006). Dalam karya tersebut dinyatakan bahwa etos kerja merupakan usaha maksimal dan sadar dalam bekerja sebagai perwujudan panggilan suci. Selain itu, perempuan Bali menganggap kerja adalah yadnya sebagai upaya peningkatan kualitas diri.

Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan pariwisata di Bali juga mempertimbangkan peran ganda perempuan, tujuannya agar tidak menimbulkan konflik antara peran di aras domestik dengan peran di aras publik dari perempuan Bali. Dilain pihak, menurut Mardani (1995:10) perempuan Bali ingin menciptakan agar peran ganda yang dijalani tidak mengurangi beban tradisional atau sekurang-kurangnya menciptakan modifikasi dalam kehidupan sebagai perempuan tradisional. Dari sisi pertumbuhan, baik untuk angkatan kerja maupun dari lapangan usahanya, pertumbuhan (growth) tenaga kerja perempuan Bali lebih baik dari tenaga kerja laki-laki Bali. Dengan tidak mengecilkan makna pertumbuhan tersebut, memang dari sisi cultural studies pendekatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan dianggap gagal menjalankan perannya. Kondisi kegagalan tersebut antara lain ditandai dengan timbulnya masalah terhadap tenaga kerja perempuan Bali di bidang pariwisata berupa marginalisasi di berbagai proyek kepariwisataan dan pengembangan masyarakat, marginalisasi perempuan di sektor publik pariwisata yang berorientasi kekuasaan dan berbagai stereotipe negatif yang sering menimpa perempuan Bali. Semua masalah tersebut pada akhirnya bermuara pada ketidakadilan terhadap pekerja perempuan Bali pada sektor pariwisata di Bali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun