Mohon tunggu...
Jiebon Swadjiwa
Jiebon Swadjiwa Mohon Tunggu... Penulis

📖 Penulis | Jurnalis | Content Writer | Hidup untuk ditulis, menulis untuk hidup, dan apa yang saya tulis itulah diri saya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

R.A. Kartini Nyalakan Cahaya Untuk Pelita Bangsa, Bukan Sekadar Peringatan 21 April

21 April 2025   08:45 Diperbarui: 21 April 2025   08:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi R A Kartini sebagai simbol cahaya dan harapan bagi perempuan Indonesia sepanjang masa. (ImageFX)

Dalam sejarah yang sering kita bungkus dengan pita seremoni dan tempelan upacara, nama Raden Ajeng Kartini telah lama menjelma seperti lilin di altar kenegaraan dinyalakan setiap 21 April, lalu dibiarkan padam di hari-hari biasa. 

Padahal, Kartini bukan sekadar tanggal di kalender atau wajah di spanduk perayaan. Ia adalah api kecil yang pernah mencoba menyala dalam gelapnya pekat zaman, dan yang lebih penting, ia adalah pertanyaan abadi tentang apa artinya menjadi perempuan, manusia, dan cahaya bagi negeri.

Kartini hidup dalam dunia yang membungkus perempuan seperti sangkar emas. Keindahan yang dipajang, tapi tak diberi arah terbang.

Dalam surat-suratnya, ia tak hanya menulis dengan tinta, tetapi dengan luka yang telah dilapisi keberanian. Ia bukan sastrawan; ia lebih dari itu. Ia penggali sumur di tanah yang gersang: menggali harapan di tanah tradisi yang mengekang, dengan harapan bahwa satu mata air akan cukup untuk menghidupi ladang-ladang masa depan.

Banyak orang membaca Kartini dengan mata yang malas melihatnya hanya sebagai simbol emansipasi, lalu membungkusnya dalam kebaya dan gelungan, seolah semangatnya cukup diwariskan lewat kain dan parade. 

Padahal, Kartini adalah bunyi pelan yang terus berdengung di dalam dada setiap perempuan yang bertanya: "Mengapa aku harus diam?" Ia adalah gema dari ruang-ruang sunyi, tempat perempuan selama berabad-abad hanya diajarkan untuk mendengarkan, bukan bersuara.

Bayangkan sebuah pelita yang diletakkan di tengah ruangan gelap. Ia tidak bergerak. Tidak berlari. Tapi semua orang bisa melihat karena ia tetap menyala. Itulah Kartini. Ia tidak berperang dengan senjata. Ia berperang dengan pikiran. Dan peperangan paling sunyi, paling panjang, dan paling melelahkan adalah ketika kau mencoba mengubah arah sejarah hanya dengan kata-kata.

Di masa kini, ketika akses pendidikan sudah lebih terbuka dan suara perempuan sudah lebih nyaring, apakah cahaya Kartini masih diperlukan? 

Jawabannya bukan hanya ya, tapi bagaimana. Karena tantangan perempuan hari ini bukan lagi seputar boleh sekolah atau tidak, tapi tentang bagaimana menyuarakan diri dalam dunia yang gemar membungkam dengan cara yang lebih halus, penghakiman sosial, standar kecantikan, beban ganda sebagai ibu dan pekerja, hingga pengabaian terhadap suara perempuan dalam keputusan-keputusan besar bangsa.

Kartini seharusnya tidak hanya kita kenang. Ia harus kita teruskan. Ia bukan cerita usang; ia adalah kalimat yang belum selesai kita tulis. Jika dulu ia menulis dari balik jeruji pingitan, hari ini kita harus menulis ulang peradaban dari balik layar, panggung, mimbar, ruang rapat, ruang kelas, dan ruang makan. Karena cahaya tidak hanya tinggal di lentera. Ia harus menjadi bagian dari udara yang kita hirup, menjadi etos, bukan etalase.

Kita terlalu sering menjadikan Kartini sebagai patung gagah dalam museum nasionalisme, padahal ia lebih mirip kompas retak
tak sempurna, tapi menunjuk arah. Arah ke masa depan di mana perempuan tidak hanya diberi tempat, tapi diakui sebagai penentu arah. Arah di mana cita-cita tidak dibatasi oleh jenis kelamin, dan keberanian tidak diberi label "laki-laki" atau "perempuan", melainkan "manusia".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun