Ada seorang pengelana dalam diriku, ia tak punya nama, hanya bayangan dari langkah yang terus mengendap-endap di antara lorong sunyi kesadaran. Ia berjalan tanpa kompas, hanya mengikuti denyut samar yang kadang disebut orang-orang sebagai "rasa". Ia tahu, dari awal perjalanannya tak menjanjikan apa-apa selain luka. Tapi tetap saja ia melangkah. Sebab itulah cinta, seni menempuh kehancuran dengan wajah yang tersenyum.
Cinta, dalam definisi yang tak pernah selesai, bukanlah jalan menuju rumah, melainkan rumah itu sendiri yang perlahan terbakar, sementara kita duduk tenang di ruang tamu, menyesap kenangan seperti teh yang tak lagi panas. Kebodohan? Mungkin. Tapi bukankah setiap hal yang luhur mengandung sedikit kebodohan?Â
Burung terbang tanpa tahu apakah langit akan jatuh. Bunga mekar tanpa tahu siapa yang akan melihatnya. Dan kita mencintai tanpa tahu apakah cinta itu sendiri pernah tahu siapa kita.
Aku pernah bertanya pada bayanganku sendiri: "Mengapa kau tetap setia berjalan, meski tahu jalan ini sunyi?" Ia menjawab, tanpa suara, hanya isyarat: karena cinta bukan soal sampai, tapi tentang terus bergerak, bahkan ketika tak ada yang menunggu di ujung jalan. Cinta adalah paradoks yang berdarah manis, sebuah ironi yang tak bisa dinalar, tapi mampu menjungkirbalikkan nalar itu sendiri.
Ada semacam kekonyolan indah saat seseorang jatuh cinta sendirian. Seperti pelukis yang melukis wajah seseorang dari ingatan yang kabur, lalu menangis karena tak bisa mengingat mata yang membuatnya jatuh.Â
Sendirian, namun penuh. Terasing, namun utuh. Karena barangkali, dalam cinta yang sepihak, kita lebih mengenal diri kita sendiri, apa yang membuat kita berharap, bertahan, lalu hancur... dan memilih tetap tinggal di reruntuhan itu.
Kadang cinta seperti menulis surat pada laut. Kita tahu ombak akan menyapu habis setiap kata, tapi kita tetap menulis, dengan air mata sebagai tinta dan kesunyian sebagai amplop. Mengapa? Karena barangkali, dalam diamnya laut, ada gema yang tak kita dengar, tapi dirasakan. Dan itu cukup.
Cinta adalah upacara kehilangan yang paling sakral. Ia tidak mengajarkan kita cara memiliki, melainkan cara melepaskan dengan dada yang terbuka dan tangan yang gemetar.Â
Maka bodohlah mereka yang mengira cinta adalah kepemilikan. Justru sebaliknya, cinta adalah seni menyerahkan diri, tanpa jaminan diterima. Itulah sebabnya cinta dan kebodohan sering bersalaman di altar kehidupan, saling memanggil dengan nama lain: pengorbanan.
Dan jika suatu hari kita bertemu kembali, bukan untuk saling memiliki, tapi untuk saling mengerti bahwa pernah ada ruang di dada yang kita bangun dari ketidaktahuan dan harapan.
Apakah aku menyesal? Entahlah. Penyesalan adalah suara yang datang dari masa lalu, dan aku sedang berjalan di arah sebaliknya.