Mohon tunggu...
Josef H. Wenas
Josef H. Wenas Mohon Tunggu... Administrasi - Not available

Not available

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Lobi Vatikan” di Indonesia?

11 Juli 2015   09:53 Diperbarui: 11 Juli 2015   09:53 2138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah Timor Timur antara 1975-1980 memang penuh kisah-kisah kehancuran semacam genosida, kelaparan, ketegangan perlawanan Fretilin dan perlawanan politik lokal. Dan, Gereja Katolik hadir di sana menyaksikan semuanya, dimana Keuskupan Dili memang langsung berada dibawah yurisdiksi Vatikan.

Atas nasehat Panglima ABRI Jend. L.B. Moerdani dan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Soeharto mencoba pendekatan soft power kedua di tahun 1988 [Catatan: ide ini bergulir diantara dua Kabinet Pembangunan, IV dan V, Moerdani masih sebagai Pangab dan kemudian Menhan, Alatas masih sebagai PTRI di New York dan kemudian Menlu]. Soeharto menyatakan Timor-Timur “berstatus sama” dengan dua puluh enam provinsi Indonesia lainnya, mengumumkan “terbukanya” wilayah Timor-Timur dan dimulainya “Operasi Senyum”. Dia lalu mengirimkan undangan kepada Paus Yohanes Paulus II untuk berkunjung ke Indonesia, termasuk ke Timor Timur, dan Sri Paus tiba di bulan Oktober 1989 untuk lima hari lamanya. Ini suatu diplomasi cerdas.

Tetapi yang lebih mendasar adalah— seperti pernah dikatakan budayawan Theodoor W. Geldorp, seorang Yesuit tokoh Majalah Basis— adanya suatu “jaringan komunikasi” antara Soeharto dan kalangan Katolik dalam suasana pasca Dekrit Presiden 1959 hingga paruh pertama dekade 1960-an, ketika cengkraman pengaruh Komunisme mulai semakin kuat di sekitar Presiden Soekarno. Baik bagi Angkatan Darat dan kalangan keagamaan umumnya, termasuk bagi orang-orang Katolik, Komunisme adalah ancaman eksistensial kebangsaan yang sangat serius.

Lahirnya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Golkar), 20 Oktober 1964, berasal dari rahim pemikiran “jaringan komunikasi” ini, dengan sulit melupakan figur dua orang perwira tinggi intelijen yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Humardani di sisi Angkatan Darat, dan seorang imam Yesuit bernama Josephus Gerardus Beek di sisi kalangan Katolik.

Di kemudian hari, kedua jenderal tersebut bersama-sama kader Pastor Beek seperti Hary Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Hadi Soesastro, mendirikan think tank Center for Strategic & International Studies (CSIS), yang sering dipanggil “Kelompok Tanah Abang III”. CSIS kemudian menjadi semacam referensi analitis berbagai kebijakan Orde Baru selama pertengahan 1970-an hingga menjelang akhir 1980-an, sebelum pamornya perlahan-lahan turun digeser kalangan ICMI mulai awal 1990-an, sejalan dengan semakin “hijau”-nya angkatan bersenjata, terutama sejak Panglima ABRI dijabat Jend. Faisal Tanjung mulai 1993.

Golkar dimaksudkan untuk menghimpun sebanyak mungkin kelompok fungsional seperti organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam rangka menghadapi Front Nasional ciptaan Partai Komunis Indonesia. Golkar kemudian menjadi kendaraan politik Soeharto hingga lebih 30 tahun lamanya.

Aad van den Heuvel bekas wartawan Katholieke Radio Omroep (KRO) di Belanda menyaksikan sendiri catatan-catatan Pastor Beek tentang pembentukan Golkar di tahun 1963. Heuvel juga masih ingat di tahun 1966 dia bertemu Beek yang sedang menyusun suatu naskah di mesin tik Remington tua miliknya, keesokan harinya naskah tersebut menjadi isi pidato Jend. Soeharto.

Konsepsi Golkar digagas oleh Pastor Beek, diinspirasikan oleh pemikiran Korporatisme yang memang sudah ada lama dalam tradisi Katolik. Dalam arti politis yaitu suatu Negara Korporatis yang tanpa partai-partai politik, jadi suatu demokrasi representatif dari perwakilan golongan-golongan kekaryaan dan kepentingan, semisal pengusaha, buruh, petani, guru, tukang-tukang, kelompok-kelompok keagamaan, dan sebagainya.

Analoginya adalah seperti tubuh yang anggota-anggotanya memiliki fungsi yang harmonis saling melengkapi dan digerakkan oleh suatu roh kehidupan menuju suatu cita-cita. Memang, kata “korporatisme” berasal dari bahasa Latin “corpus” yang berarti “tubuh”.

Sudah sejak Rasul Paulus dari Tarsus di abad pertama Masehi dimengerti bahwa,”Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota,” dan lebih jauh lagi, “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” [1 Korintus 12: 12-31]

Di tahun 1881, Paus Leo XIII menugaskan suatu komisi teologi dan sosial untuk merumuskan Korporatisme ini. Hasilnya, komisi ini mendifinisikannya begini: “A system of social organization that has at its base the grouping of men according to the community of their natural interests and social functions, and as true and proper organs of the state they direct and coordinate labor and capital in matters of common interest.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun