Lalu ketika orangtua menasihati anaknya untuk belajar dan bekerja keras untuk menggapai cita-cita, apakah hal ini sudah cukup?Â
Apakah cukup ketika anak sudah konsisten memeluk erat cita-citanya? Apakah profesi yang anak-anak cita-citakan masih eksis dikemudian hari?Â
Berikut beberapa pendapat penulis mengenai amunisi yang perlu disiapkan dalam berjuang menggapai cita-cita di era disrupsi. Tentu tidak hanya untuk anak-anak, orang dewasa pun bisa mengadopsi poin-poin berikut.
Berpikir Lateral
Sederhananya, berpikir lateral adalah kemampuan menyikapi suatu persoalan atau keadaan dari sudut pandang berbeda. Ini penting bagi anak-anak ataupun orang dewasa dalam mengimajinasikan dirinya di masa depan (bercita-cita) di era disrupsi. Mengapa demikian?Â
Pada bagian atas, sudah penulis paparkan 4 karakteristik dari era disrupsi. Salah satu poinnya adalah complexity, kompleksitas. Bahwa beragam persoalan kehidupan menuntut keahlian dan kreativitas manusia. Penyelesaian persoalan zaman juga tidak bergantung pada satu disiplin ilmu saja.Â
Untuk itu prinsip berpikir lateral dalam bercita-cita sangat perlu. Seseorang boleh saja memiliki cita-cita yang spesifik. Tapi dalam proses perjalanan menggapainya, pola pikir lateral harus diterapkan.Â
Founder salah satu ojek online, gojek adalah seorang yang paham mengenai teknologi. Tentu ia bisa coding (programming), sehingga bisa menghasilkan aplikasi berbasis website, android ataupun iOS. Tapi apakah si founder hanya punya satu keterampilan itu?Â
Dalam mengembangkan bisnis tersebut, apakah si founder tidak memahami ekonomi? Apakah ia tidak memiliki keterampilan komunikasi dan pengetahuan akan hukum?Â
Tentu ia menyelami banyak bidang, meskipun core-nya adalah teknologi. Dengan kemampuannya tersebut, produk teknologinya bisa digunakan oleh banyak sekali orang, membuka lapangan pekerjaan dan menyelesaikan persoalan yang cukup penting. Inilah contoh riil dari implementasi berpikir lateral.
Prinsip Luwes
Bercita-cita di era disrupsi sedikit membutuhkan suatu hal yang berbeda, sekaligus menarik. Jika pada era sebelumnya untuk menggapai cita-citan seseorang dituntut untuk konsisten memperjuangkan mimpinya, justru pada era disrupsi konsistensi si pemimpi harus didefinisikan ulang. Konsisten yang seperti apa yang harus diterapkan?