Alarm berbunyi pukul 5 pagi, tubuh dipaksa bangun meski masih lelah. Sepanjang hari tenggelam dalam rapat, deadline menumpuk, pulang larut dengan sisa energi yang hampir habis. Tak jarang, di media sosial kita menemukan orang menuliskan 'work-life balance' sebagai slogan pribadi, seolah ingin meyakinkan diri bahwa hidup masih seimbang. Padahal, data ILO menunjukkan rata-rata jam kerja orang Indonesia mencapai 40--48 jam per minggu, termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Pertanyaannya, apakah keseimbangan itu benar-benar ada, atau hanya kalimat penyemangat yang kita ucapkan untuk bertahan ?
Istilah work-life balance semakin populer beberapa tahun terakhir. Banyak pekerja yang menjadikannya sebagai moto pribadi, bahkan menuliskannya di bio media sosial atau menjadikannya tujuan hidup. Namun, realitas sehari-hari sering kali jauh berbeda. Budaya kerja di Indonesia masih sangat lekat dengan jam kerja panjang, target tinggi, dan anggapan bahwa lembur adalah tanda loyalitas. Di kota besar, pekerja harus bangun pagi-pagi sekali hanya untuk berebut angkutan umum agar tidak terlambat masuk kantor, dan sore harinya kembali harus berdesakan dalam perjalanan pulang. Tidak sedikit yang tetap mengangkat telepon pekerjaan di luar jam kantor, bahkan merasa bersalah ketika mengambil cuti. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah work-life balance benar-benar sebuah gaya hidup yang bisa diraih, atau hanya wacana yang indah diucapkan tapi sulit diwujudkan?Â
Salah satu alasan mengapa work-life balance kerap hanya menjadi slogan adalah budaya kerja yang sudah mengakar. Di banyak tempat, lembur masih dianggap sebagai bukti loyalitas, sementara pulang tepat waktu sering kali dipandang negatif. Selain itu, faktor ekonomi membuat banyak pekerja merasa tidak punya pilihan. Kenaikan pajak, harga kebutuhan pokok yang terus melambung, dan tekanan gaya hidup di kota besar membuat banyak orang terjebak dalam siklus kerja tanpa henti demi memenuhi tuntutan finansial. Demi bertahan hidup, mereka rela mengorbankan waktu istirahat, bahkan kesehatan. Tak jarang, pekerja membawa pulang tugas kantor atau tetap menanggapi pesan atasan di luar jam kerja. Akibatnya, batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan semakin kabur. Pada titik ini, work-life balance bukan lagi sebuah kenyataan, melainkan sekadar kalimat penyemangat yang diulang-ulang agar diri tetap kuat menghadapi rutinitas. Â
Di tengah kondisi tersebut, konseling dan dukungan kesehatan mental menjadi salah satu kebutuhan penting bagi pekerja. Sayangnya, layanan ini masih jarang dianggap prioritas di banyak tempat kerja. Beberapa perusahaan besar mulai menerapkan employee assistance program (EAP) yang menyediakan konselor internal atau kerja sama dengan psikolog, tetapi jumlahnya masih sangat terbatas. Padahal, konseling dapat membantu pekerja menemukan strategi menghadapi stres, menetapkan batas sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, hingga mengelola tekanan ekonomi dan gaya hidup. Di era digital, layanan konseling online juga semakin mudah diakses, memberi kesempatan bagi pekerja untuk mencari bantuan tanpa harus meninggalkan rutinitas kerja yang padat. Hal-hal sederhana seperti kelompok dukungan di kantor, sesi sharing, atau pelatihan mindfulness bisa menjadi langkah awal untuk menjaga mental pekerja tetap stabil.Â
Mengabaikan kesehatan mental pekerja bukan hanya merugikan individu, tetapi juga perusahaan dan bahkan negara. Pada level pribadi, stres berkepanjangan dapat memicu berbagai masalah fisik seperti sakit kepala, gangguan tidur, hingga penyakit kronis. Dari sisi perusahaan, pekerja yang kelelahan mental cenderung mengalami penurunan produktivitas, lebih sering absen, dan memiliki risiko turnover yang tinggi. Hal ini berarti kerugian besar karena biaya rekrutmen dan pelatihan harus terus dikeluarkan. Lebih jauh lagi, jika fenomena ini terjadi secara masif, Indonesia berisiko menghadapi 'bonus demografi yang cacat'. Alih-alih menjadi kekuatan, generasi pekerja justru terjebak dalam lingkaran kelelahan dan ketidakstabilan mental, yang pada akhirnya bisa menghambat visi Indonesia Emas 2045.Â
Pada akhirnya, work-life balance bukan sekadar kata-kata indah yang kita tempel di bio media sosial atau kita ucapkan saat merasa lelah. Ia adalah kebutuhan nyata agar manusia tetap menjadi manusia di tengah roda industri yang tak pernah berhenti berputar. Perusahaan perlu menyadari bahwa kesehatan mental karyawan adalah investasi jangka panjang, bukan beban tambahan. Sementara itu, pekerja pun berhak menetapkan batas, belajar berkata 'cukup', dan mencari bantuan ketika diperlukan. Pertanyaannya, apakah kita siap menjadikan work-life balance sebagai kenyataan, atau kita akan terus membiarkannya hanya menjadi slogan untuk menghibur diri?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI