Mohon tunggu...
Jeri Santoso
Jeri Santoso Mohon Tunggu... Nahkoda - Wartawan

Sapiosexual

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Liberalisasi Pendidikan dan Pembodohan Sistemik dalam Kampus

31 Agustus 2019   01:52 Diperbarui: 5 September 2019   15:39 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: katadata.co.id

Arkeologi pendidikan yang terjadi di bilik-bilik kampus saat ini sarat dengan perwujudan liberalisme. Mulai dari privatisasi beberapa PTN terkemuka, praktik jual-beli ijazah, tarif pendidikan yang amat tinggi, perguruan tinggi abal-abal, dan sertifikat kegiatan akademik asli tetapi palsu menjadi gambaran pendidikan Indonesia saat ini. Semua ada karena produsen, konsumen, dan uang.

Legalitas merupakan bagian utama untuk meraih mimpi para konsumen ini (Teguh Triwiyanto; 2019). Sekolah akhirnya kini bukan menjadi sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, malah jadi ladang kapitalisme. Segmentasi pasar adalah orientasi utama perwujudan pendidikan setengah jadi. Itu terjadi sekarang.  

Sistem pendidikan nasional sekarang menghadapi persoalan liberalisme yang semakin kuat pengaruhnya, merangsek masuk dalam setiap komponen-komponen yang ada. Siswa menghadapi gelombang keterbukaan dan derasnya informasi yang ada.

Apabila tidak disiasati dengan militansi intelektual dan literasi yang kuat, mereka dapat terseret jauh dari nilai-nilai budaya. Guru atau pendidik dengan bekal kompetensi yang tidak memadai menjadi beban sekaligus pintu keterbukaan ilmu (yang tidak terkontrol) bagi siswa.

Dalam lingkungan kampus misalnya, tidak sedikit peristiwa-peristiwa sentimental yang dialami mahasiswa dalam relasinya dengan dosen. Indoktrinasi ilmu pengetahuan lewat kredit-kredit teori yang seolah-olah 'disahidkan' oleh ceramah seorang dosen berhasil mendobrak pemahaman peserta didik.

Teori benar--kita bersyukur, teori salah---naslah peserta didik. Sikap otoriter seorang pengajar yang enggan dikritisi juga menjadi beban moral peserta didik untuk mengeksplorasi kebenaran. Sepeleh, tapi ini pembodohan sistemik.

Pendidikan Jadi Dasar Indeks Pembangunan

Laporan Indeks Pembangunan Manusia 2015 yang dikeluarkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) baru-baru ini menyatakan Indonesia sebagai negara berkembang terus mengalami kemajuan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menempati peringkat ke-110 dari 187 negara dengan nilai indeks 0,684.

Jika dihitung dari tahun 1980 hingga 2014, berarti IPM Indonesia mengalami kenaikan 44,3%. Terdapat empat indikator yang digunakan untuk mengukur IPM Indonesia sejak tahun 2014, yaitu angka harapan hidup sebesar 68,9%, harapan tahun bersekolah 13,0, rata-rata waktu sekolah yang sudah dijalani oleh orang berusia 25 tahun ke atas sebesar 7,6, dan pendapatan nasional bruto per kapita 9,788.

Pembangunan harus menempatkan manusia atau warga masyarakat dalam kedudukan sentral dan menempatkan lingkungan sebagai sistem dengan manusia sebagai pusatnya (Muhadjir, 1987:11). Pembangunan Indeks Manusia yang disajikan oleh data di atas mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan sentrum membangun manusia Indonesia yang berpotensi dan bermartabat.

Selaras dengan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka tata kelola pendidikan harus ditata sedemikian rupa sehingga kebebasan memperoleh pendidikan yang layak harus adil dan merata.

Oleh sebab itu, pendidikan nasional mengenal beberapa prinsip penyelenggarannya, yaitu:

1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan dan kultural, dan kemajemukan bangsa;

2) pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan multimakna;

3) pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan siswa yang berlangsung sepanjang hayat;

4) pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran;

5) pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan menghitung bagi segenap warga masyarakat; serta 6) pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Tata kelola pendidikan untuk rakyat harus menjadi kredo bersama satu koridor dengan prinsip-prinsip penting penyelenggaraan pendidikan. Karena keberhasilan suatu pembangunan harus memperjuangkan ruang bagi seluruh masyarakat untuk dicerdaskan oleh negara.

Pergerakan pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perbaikan, akan tetapi pendidikan terus saja masih tertinggal dari negara-negara lain. Angka putus sekolah terus memprihatinkan. Ironisnya, sekitar 73% kasus putus sekolah disebabkan oleh faktor ekonomi (Kompas,8/9/2016).

Perspektif Kritis
Mengutip pendapat Darmaningtyas (2019), pendidikan tinggi kita memiliki sejarah sebagai bagian dari perjuangan bangsa sehingga tugas utamanya semestinya mencerdaskan masyarakat dan bangsa agar dapat terlepas dari penjajahan ideologi, politik, ekonomi, dan budaya. Coba cermati beberapa catatan berikut!

Pertama, komitmen mencerdaskan masyarakat sangat minim oleh birokratisasi kampus yang semakin sumpek. Semakin banyak orang berlomba menulis di jurnal internasional semakin banyak pula yang lupa mengkomunikasikan dan menyederhanakan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat luas. Gunanya apa coba? Kalau masih banyak masyarakat yang tidak tahu baca-tulis. Konsep pendidikan yang terlalu mengejar rangking yang belum tentu relevan dengan kehidupan masyarakat perlu diperhatikan lagi.

Kedua, masa depan Indonesia maju butuh cendikiawan yang kreatif, inovatif, dan menjawabi tantangan globalisasi. Output pendidikan bukan mencetak ijazah sebanyak mungkin. Bahkan ijazah sekarang mampu dibeli oleh rupiah. Itulah liberalisasi pendidikan.

Jangan terjebak dalam pembodohan sistemik. Kesiapan intelektual dan integritas moral yang tinggi yang sangat dibutuhkan ke depan. Kesampingkan niat memprioritaskan legalitas, asah kemampuan diri. Data berikut akan membuka mata para calon sarjana.

Ketiga, zelf bedruiping itu penting. Artinya mengelola 'diri sendiri dari sumber sendiri'(Triwiyanto, 2019:95). Ini merupakan salah satu keyakinan Ki Hajar Dewantara pada sistem pendidikan. Bahwa pendidikan sebagai proses pembudayaan kodrat alam merupakan usaha memelihara dan memajukan serta mempertinggi dan memperluas kemampuan-kemampuan kodrati untuk mempertahankan hidup (Mudyaharjo, 2003:300). Proses pembudayaan itu bertujuan membangun kehidupan individual dan sosial.

Demikian, kita harus berani keluar dari sistem liberalisasi pendidikan dan pembodohan sistemik dengan perspektif kritis sebagaimana merupakan cara pandang orang-orang kampus. Iya, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun