Mohon tunggu...
Jeremy Suhendra
Jeremy Suhendra Mohon Tunggu... Kolese Kanisius

bosen…

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Waspadai Hoaks AI: Ketika Tulisan Rapi dan Meyakinkan Bisa Jadi Tipu Muslihat Digital

24 Mei 2025   20:31 Diperbarui: 24 Mei 2025   20:31 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Lalu muncul pertanyaan penting: kalau AI bisa membuat kita percaya pada sesuatu yang sebenarnya tidak ada, bagaimana cara kita memitigasinya?

Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa kemampuan membaca saja tidak cukup. Literasi di era digital harus mencakup kemampuan untuk mengenali pola naratif yang artifisial. Misalnya, ketika kita menemukan tulisan yang terlalu sistematis, terlalu netral, dan terlalu lancar dari awal sampai akhir, ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya: benarkah ini ditulis oleh manusia? Tulisan manusia seringkali memiliki gaya personal, emosi yang naik-turun, bahkan jeda reflektif yang tidak selalu rapi secara teknis. AI justru sering terasa "terlalu sempurna," karena tidak memiliki pengalaman emosional seperti kita.

Kita juga perlu mengasah intuisi digital, mengenali frasa-frasa umum yang cenderung digunakan AI, membandingkan tulisan dengan sumber primer, dan membangun kebiasaan untuk double-check setiap informasi yang kita baca, terutama jika tulisan itu berpotensi mempengaruhi cara berpikir, bersikap, atau mengambil keputusan. Dalam praktiknya, ini bisa dimulai dari hal sederhana, yaitu selalu pastikan apakah artikel mencantumkan referensi jelas, siapa penulisnya, dan apakah nama yang tercantum benar-benar aktif dalam bidang yang dibahas.

Di sisi lain, ekosistem informasi kita pun perlu dibentengi. Platform seperti media sosial, aggregator berita, dan situs berbagi harus secara aktif membangun sistem deteksi konten artifisial. Bukan untuk melarang AI, tetapi untuk memberi peringatan yang sehat kepada publik. Semacam label "konten ini dibuat menggunakan sistem AI," seperti yang kini mulai diuji coba di beberapa negara. Transparansi seperti ini bukan bentuk pembatasan, melainkan cara menjaga otonomi berpikir masyarakat.

Yang tidak kalah penting, edukasi. Baik di tingkat sekolah, kampus, maupun publik, harus ada upaya sistematis untuk mengenalkan realitas baru ini. Bahwa AI bukan hanya alat bantu, tetapi juga alat pembentuk opini. Pelatihan menulis, debat, literasi media, bahkan pelajaran logika dan retorika kini tidak bisa dianggap sebagai pelengkap, melainkan kebutuhan utama untuk bertahan di lanskap informasi yang semakin kompleks.

Kita tidak bisa lagi bergantung pada asumsi bahwa "kalau tulisannya bagus, pasti benar." Justru sekarang, semakin bagus sebuah tulisan, semakin besar pula kemungkinan ia berasal dari AI. Maka ke depan, tugas kita bukan hanya membaca, tetapi juga memverifikasi. Bukan hanya memahami isi tulisan, tapi juga menilai konteks dan sumbernya. Karena dalam dunia yang mana kepalsuan bisa dibuat dengan presisi tinggi, kepekaan manusialah yang menjadi garis pertahanan terakhir.

Justru di sinilah harapan itu berada. Bahwa di balik segala kecanggihan algoritma, manusia masih punya intuisi, empati, dan nalar kritis. Hal-hal yang belum, dan mungkin tak akan pernah, dimiliki oleh AI.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun