Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Filsafat dan Rina Nose yang Tidak Lagi Berjilbab

19 November 2017   14:24 Diperbarui: 21 November 2017   07:14 78109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita mulai dengan kalimat terakhir dari tuisan Rina Nose -  kalau hidupmu sudah sebaik ini tanpa agama, lalu kenapa kamu ingin mencari Tuhan dan ingin memiliki agama?- maka tampaknya Rina Nose telah mencapai semacam pencerahan yang mendalam. Pertama, Rina Nose sadar bahwa ternyata kepedulian pada nilai-nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan (2), rasa syukur atas berbagai keberhasilan hidup dan atas makanan dan minuman (3), berperilaku disiplin, tertib, dan menjaga kebersihan (4) ternyata dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak secara eksplisit mengakui Tuhan dan memeluk agama tertentu. 

Tampaknya kesadaran ini membawa Rina Nose kepada kenyataan yang lebih mendasar - saya mengklaim - bahwa menjadi baik dan memiliki keutamaan-keutamaan individu dan sosial pertama-tama tidak ditentukan oleh agama seseorang.  Dalam arti itulah kita bisa memahami perasaan "sakit hati" Rina Nose ketika dia dituduh sebagai ateis atau sudah murtad.

Kedua, pengalaman kesadaran Rina Nose akan pentingnya sikap "mencari Tuhan" sebagaimana yang dia alami pada hidup orang Jepang. Lagi-lagi ini sebuah sikap eksistensial yang sekaligus menjadi otokritik terhadap agama. Disebut sebagai otokritik terhadap agama karena pandangan bahwa sikap keberagamaan yang benar seharusnya membantu individu merindukan Allah, "mencari" Allah dan mengalami apa Kehendak Allah bagi hidupnya. Dalam arti itu, saya sangat memahami kegundahan hati Rina Nose, bahkan ketika dia sedang berada di hadapan Ka'bah. 

Tentang pengalaman kegundahan hati Rina Nose ketika berziarah ke Mekkah, Rina Nose melukiskan demikian: "Aku melihat di depan Ka'bah ada banyak jutaan manusia setiap hari itu luar biasa banget kekuatan yang ada di sana. Saya juga memikirkan soal hal itu (melepas hijab) di sana." [4] Sebenarnya ini termasuk kesadaran yang vulgar, karena di tempat yang maha suci ketika ribuan bahkan jutaan orang mengenakan busana keagamaan dan menjalankan ritual penyembahan pada Allah, seorang Rina Nose memberi ruang pada kemungkinan melepaskan jilbab.

Di lain pihak, Rina Nose "menemukan" bahwa ternyata kerinduan pada Allah tidak akan pernah bisa dipadamkan dari dahaga batin manusia. Pengalaman berjumpa dengan realitas hidup orang Jepang mengingatkan Rina Nose, bahwa jika kemudian orang mencari Tuhan, pada akhirnya yang terpenting adalah pengalaman berelasi dengan Allah secara personal. Saya melihat bahwa hal ini pula yang "dialami" Rina Nose ketika sedang merenung di hadapan Ka'bah. "...saat di sana (Mekkah) saya punya keyakinan, Tuhan itu Maha Penyayang, Maha Baik. Jadi apa pun keputusan saya, saya yakin beliau (Tuhan) yang lebih tahu."[4]

Penutup

Bagi saya, apa yang sedang dialami Rina Nose adalah sebuah "petualangan spiritual". Pengalaman Rina Nose adalah sebuah ziarah menemukan dan mengalami Tuhan. Petualangan ini telah menyadarkan Rina Nose akan dua hal penting yang harus hadir dalam hidup setiap kita. Pertama, menjadi baik itu sebuah perkara universal. Menjadi baik dalam arti berperilaku baik adalah bagian hakiki dari panggilan manusia untuk merealisasikan jati dirinya. Dan itu tidak ditentukan oleh apakah seseorang beragama atau tidak. Jika seseorang kemudian memilih beragama, narasi keagamaan dan kepercayaan pada seorang Tuhan akan memberikan perspektif yang memperkaya pilihan hidupnya untuk menjadi baik. Dan itu melampaui segala upaya pelabelan dari luar, entah itu bernama kafir, murtad, tidak beriman, dan sebagainya.

Kedua, Rina Nose sebenarnya mengingatkan kita bahwa pada akhirnya Tuhan dan agama yang kita pilih harus berangkat dari sebuah relasi yang mendalam dengan Tuhan. Dan tampaknya relasi yang mendalam dengan Tuhan akan membuat kita mengalami Tuhan dalam "sosok" yang sedikit berbeda dengan yang selama ini direpresentasikan oleh narasi keagamaan "resmi". Tuhan yang dialami adalah Allah personal, sosok pengampun, pemaaf, Pribadi yang melindungi dan mengasihi tanpa pamrih. Tuhan tidak menaruh mendendam, Dia tidak menghakimi, apalagi memfitnah. Dia selalu menjadi dhat yang dituju orang karena kebaikan dan kemurahan hati-Nya.

Filsafat memang telah membebaskan Rina Nose dari perangkap keberagamaan massal dan membawanya kepada sebuah perjumpaan yang intim dan mendalam dengan Tuhan. Di tangan Rina Nose, filsafat telah menuntaskan perannya sebagai sarana untuk membebaskan seseorang dari perangkap pemikiran yang sempit, dari kurungan ideologi, atau dari ajaran yang sifatnya dogmatis. Kalau pun pada akhirnya Rina Nose tetap tinggal sebagai seorang yang beragama, cara keberagamaannya sekarang telah dimurnikan. Berkat filsafat, Rina Nose menemukan alasan keberagamaannya yang otentik.

Rujukan:1, 2, 3, dan 4.

  1. Kurtis, George (2014). Ancient Knowledge.Morrisville, North Caroline: Lulu Publisher.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun