Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perihal Menjadi Pendidik

20 Desember 2012   23:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:17 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Siapa yang tidak kenal Rabindranath Tagore (1861-1941)? Dialah peraih hadiah Nobel pertama dari Asia, seorang pemikir dan tokoh pendidikan yang lahir dari sebuah keluarga terkemuka di Calcutta. Pemikirannya mengenai pendidikan masih tetap relevan dan menginspirasi siapa saja yang mau menjadi pendidik, bahkan sampai hari ini. Dalam sebuah buku berjudul Personality (London, Macmillan & Co: 1917), Rabindranath Tagore menulis, “Kita terlahir ke dalam dunia bukan sekadar untuk mengetahui dunia, tetapi untuk menerimanya. Mungkin saja kita menjadi pribadi dengan kekuasaan tak-terbatas berkat pengetahuan, tetapi pengetahuan yang penuh hanya bisa diperoleh melalui simpati. Pendidikan yang luhur dilaksanakan tidak semata-mata demi memberikan kepada kita sejumlah informasi tetapi menjadikan hidup kita menjadi harmonis dengan seluruh isi dunia. Sayangnya yang kita hadapi adalah kenyataan bahwa pendidikan empati tidak hanya sedang diremehkan secara sistematis di sekolah-sekolah, tetapi juga direpresi secara mengerikan. Sejak usia anak-anak, kebiasaan kita dibentuk dan pengetahuan kita ditanamkan sebegitu rupa sehingga kehidupan kita dibebaskan dari alam dan dari pikiran kita tetapi dengan cara di mana dunia diposisikan dalam perlawanan. Kebesaran dari pendidikan yang untuknya kita dipersiapkan justru dilupakan, dan kita dibentuk untuk menjadi orang yang kehilangan dunia kita demi mencapai segudang informasi. Kita merampok anak-anak dari dunianya karena mendidik mereka dengan geografi, atau merampok anak-anak dari bahasa mereka karena mengajarkan mereka tata bahasa. Anak-anak lapar akan kisah kepahlawanan, tetapi kita justru menjejali mereka dengan tanggal dan tahun” (hlm. 116-117).

Sebagai pendidik (guru dan dosen), kita diingatkan untuk mendidik anak-anak dalam kepenuhannya. Kita “ditegur” untuk tidak merampok dan mencabut anak-anak dari dunia mereka. Pendidikan dalam pemahaman Rabindranath Tagore haruslah sebuah proses integral membentuk manusia yang cerdas (memahami dunia) dan berbudi (menjalankan hidupnya dalam keharmonisan dengan dunia dan ciptaan lainnya). Guru atau dosen, dengan demikian, menjadi salah satu pelaku pendidikan penting yang perannya tidak bisa dianggap remeh. Menjadi guru atau dosen yang mampu mewujudkan kedua dimensi pendidikan itulah (pendidikan demi pengetahuan dan pendidikan demi hidup yang harmonis) rantangan yang harus dihadapi siapa saja yang menyebut dirinya guru/dosen.

Terlalu banyak literatur yang berbicara mengenai pentingnya menjadi guru/dosen yang baik. Saya tertarik untuk merefleksikan apa artinya menjadi pendidik yang menginspirasi. Harus diakui, sebagian refleksi ini dilakukan atas pengalaman saya baik sebagai peserta didik (sejak SD) maupun selaku pendidik. Refleksi ini akan bermuara pada pentingnya menjadi pendidik yang menginspirasi. Bagi saya, menjadi guru yang menginspirasi dapat menjadi jalan keluar bagi kegundahan hati seorang Rabindranath Tagore, bahwa pendidikan seharusnya dijalankan secara menyeluruh (integral). Hanya pendidik yang punya wawasan integral mengenai pendidikan dan kehidupan akan tertantang untuk mewujudkan kedua dimensi pendidikan sebagaimana dimaksudkan Rabindranath Tagore tersebut.

Alasan Menjadi Pendidik

Mengapa memilih menjadi pendidik? Apa kebanggaan terbesar dari profesi menjadi pendidik? Umumnya disetujui bahwa seorang pendidik dapat, dan memang mampu mengubah kehidupan. Para pendidik sanggup menyalakan lilin di tengah kegelapan pikiran. Pendidik pada level sekolah menengah mampu menentukan pilihan universitas dan jenis program studi yang dapat dipilih. Para pendidik ternyata memiliki pengaruh yang langsung dengan pilihan karier seorang peserta didik.

Jika klaim atau asumsi ini benar demikian, pendidik menjadi sebuah profesi yang begitu mulia. Masalahnya kemudian tidak terletak pada usaha menjawab pertanyaan makna profesi pendidik, tetapi pada watak pendidik seperti apakah yang seharusnya kita miliki agar dapat merealisasikan dimensi pendidikan sebagaimana dikatakan Rabindranath Tagore? Sebagian orang berpendapat bahwa hanya menjadi pendidik yang penuh inspirasilah seseorang mampu memengaruhi peserta didiknya. Apa maksudnya menjadi pendidik yang inspirasional? Apa yang membuat seseorang menjadi pendidik yang mampu menginspirasi lingkungan dan peserta didiknya?

Tiga alasan bisa dikemukakan. Pertama, supaya bisa menginspirasi, seorang pendidik dituntut memiliki entusiasme dan gairah yang menggelora (passion) terhadap bidang keilmuan dan subjek yang dia ampu. Para pendidik semacam ini biasanya menunjukkan thrill dan kenikmatan dalam membentuk dirinya sebagai pendidik yang terampilan dan sosok berpengetahuan dalam bidangnya yang sangat spesifik. Pendidik yang sama juga dituntut untuk memiliki keterampilan mengkomunikasikan pengetahuan dan keterampilannya kepada peserta didik. Secara moral, pendidik tidak boleh pelit terhadap pengetahuan dan keterampilannya. Dia harus menyampaikan pengetahuan dan keterampilannya secara menyeluruh kepada para peserta didik.

Kedua, mengikuti Rabindranath Tagore, menjadi pendidik dihayati sebagai panggilan untuk mengubah pikiran (intelektualitas) dan hati (watak). Dalam arti itu, menjadi pendidik adalah panggilan seumur hidup. Seorang pendidik boleh pensiun sebagai pendidik, tetapi tidak pernah berhenti membentuk watak dan kepribadian orang lain. Pendidik yang menginspirasi adalah sosok yang menetapkan standar tinggi bagi peserta didiknya. Watak kebaikan hati dan dorongan untuk berbuat baik bagi peserta didik dipraktikkan dalam satu tarikan nafas dengan usahanya meningkatkan kualitas intelektual. Demi mewujudkan ini, seorang pendidik menetapkan standar tinggi sebagaimana menjadi tuntutan keilmuan yang dikuasainya.

Ketiga, seorang guru yang baik adalah sosok yang selalu memperbarui metode dan materi pengajarannya. Setiap angkatan selalu menuntut perubahan dan pendekatan baru dalam memperkenalkan disiplin kepada peserta didik. Peserta didik berasal dari latar belakang pengalaman dan ekspektasi yang berbeda. Inilah yang kemudian menuntut pendekatan yang selalu berbeda. Seorang pendidik yang menginspirasi seharunya menyadari hal ini dan terbuka kepada metode dan pendekatan baru. Pendidik yang baik dan menginspirasi seharusnya adalah sosok yang selalu belajar seumur hidupnya.

Setiap pendidik tentu punya pengalaman betapa beratnya menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Kita dituntut menguasai teknologi informasi ketika pendidikan semakin berbasiskan IT. Kita dituntut memiliki kemampuan mempraktikkan metode pengajaran berbasiskan peserta didik. Di fakultas kedokteran Unika Atma Jaya selalu ada kesempatan pelatihan metode pengajaran berpusat pada peserta didik. Inilah tuntutan dari adaptasi diri demi efektifnya proses pendidikan itu sendiri. Rekan-rekan dari fakultas lain di lingkungan Unika Atma Jaya tentu memiliki pengalaman serupa.

Pendidik sebagai pelatih kehidupan

Bagaimana mewujudkan peran pendidik sebagai pengajar ilmu sekaligus agen pembentuk watak dan perilaku? Bagaimana seharusnya menjalankan peran pendidik yang sanggup menghasilkan peserta didik yang pandai tetapi juga yang memiliki hubungan yang baik dan harmonis dengan dirinya dan dengan sesama?

Seorang pendidik hanya bisa disebut sebagai “hebat” jika dia adalah seorang pelatih (coach) dan model. Kita belajar dari sejarah bahwa semua guru yang besar selalu membawakan topik mereka secara hidup, selalu merujuknya kepada kejadian-kejadian saat ini dan bagaimana pengetahuan akan materi yang mereka ajarkan dapat memampukan peserta didik untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai dunia tempat mereka tinggal. Seluruh proses pendidikan, dengan demikian, tidak bisa mengabaikan begitu saja relevansi antara pengetahuan dan kehidupan saat ini.

Sebagai pendidik dengan latar belakang humaniora (filsafat), penulis punya pengalaman sederhana yang dapat mengilustrasikan peran pendidik sebagai pelatih. Ketika mengajarkan topik “mengarang dengan baik” dalam mata kuliah logika, misalnya, peran pendidik sebagai “pelatih” (coach) itu sangat penting kedudukannya. Penulis tidak hanya mengajar teori mengarang, tetapi langsung melatih teknik mengarang berdasarkan pengalaman penulis selaku pendidik dan penulis. Jika ditambah dengan usaha memosisikan diri sebagai model perilaku, penulis berharap peran sebagai pendidik yang menumbuhkan pengetahuan dan mendorong perubahan perilaku kiranya dapat direalisasikan.

Pendidik yang menginspirasi adalah mereka yang mendorong, memotivasi, dan menginspirasi melalui motivasi-motivasi intrinsik. Para peserta didik dengan senang hati memilih untuk betah di sekolah/kampus setelah kegiatan belajar, mengerjakan atau menulis esai-esai yang tidak akan pernah dinilai, dan melahap bacaan-bacaan tambahan. Pendidik yang baik adalah sosok yang melukis gambar yang besar dan mengarahkan peserta didiknya kepada sumber-sumber yang dibutuhkan untuk melukis gambar yang besar itu.

Umumnya dikatakan bahwa pendidik yang inspirasional adalah pribadi apa adanya? Kecerdasan, pengetahuan, berbagai ketrampilan atau watak-watak lainnya yang disebutkan di atas memang dimiliki oleh para pendidik yang demikian. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, adalah bahwa pendidik yang inspirasional itu memiliki guru atau pendidik juga yang menginspirasi. Artinya, mereka memiliki model guru ideal yang patut diguguh dan ditiru. Sebagai pendidik, penulis punya seorang model pendidik. Dialah Yohanes Bosco, seorang pendidik ulung dalam Gereja Katolik. Dia adalah pendidik yang bergairah, yang hasrat terbesarnya adalah membawa anak-anak kepada kepintaran dan keselamatan kekal. Kepintaran agar bisa hidup, bekerja dan memuaskan kebutuhan duniawinya. Tetapi juga keselamatan karena tuntutan jiwa akan keselamatan kekal. Pada diri Don Boscolah penulis belajar menjadi pendidik, bahwa yang menentukan keberhasilan pendidikan bukan terletak pada sejauh mana kita mentransfer pengetahuan, tetapi sejauh mana anak-anak merasa diterima dan dikasihi. Dari titik inilah seharusnya kita belajar untuk menjadi pendidik yang menggairahkan.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun