Klausul Uang Hangus yang dipasang pihak penjual sebenarnya berpotensi bertentangan melawan hukum. Dalam UU Perlindungan Konsumen : Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 18 Ayat 1 (e) berbunyi bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dibelinya    Â
Penetapan klausul Uang Hangus jelas ketentuan yang dibuat sepihak untuk melindungi kepentingan penjual. Saya memahami kondisi ini sebagai upaya pengembang memperingatkan pembeli agar pembeli tidak berhenti di tengah jalan. Namun klausul ini menurut saya berlebihan dan tidak mengakomodasi force majeur yang berpotensi dialami pembeli. Baiknya klausul Uang Hangus diganti dengan mekanisme denda yang proporsional dan logis dengan memperhitungkan pasaran sewa setempat, biaya renovasi dan fee penjualan yang telah dikeluarkan pengembang.
Disamping itu Klausul Uang Hangus bertentangan dengan prinsip Itikad Baik, karena menimbulkan ketidakseimbangan posisi hukum. Sebab, konsumen menanggung seluruh resiko, tapi pengembang tetap memperoleh keuntungan tanpa memberikan produk. Disamping itu tidak ada pertimbangan yang adil terhadap kondisi konsumen. Dengan demikian Klausul Uang Hangus MELANGGAR ASAS PROPORSIONALITAS dan tidak memenuhi Prinsip Itikad Baik.Â
Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata berbunyi : Perjanjian harus dilaksanakan dengan Itikad Baik. Dengan demikian Klausul Uang Hangus yang dikarenakan tidak mememnuhi Prinsip Itikas Baik. Hal ini juga sejalan dengan berbagai keputusan Mahkamah Agung, antara lain Putusan Mahkamah Agung No. 1071K/Pdt/2009 yang menegaskan bahwa pelaku usaha tidak boleh memmperkaya diri secara sepihak melalui perjanjian yang berat sebelah. Dengan demikian, Klausul Uang Hangus seharusnya BATAL DEMI HUKUM, karena klausul tersebut dapat menimbulkan perbuatan melawan hukum (PMH) berupa memperkaya diri penjual / pengembang secara tidak sah.
Kisah Ingrid hanyalah satu dari sekian banyak cerita serupa yang terjadi di sekitar kita. Ribuan, puluhan ribu bahkan ratusan ribu konsumen membeli rumah, ruko, apartemen, gudang, dengan harapan yang lebih baik, tapi akhirnya harus kehilangan segalanya karena satu klausul kecil yang dimasukkan pihak penjual / pengembang.Â
Kita memang tidak bisa menghapus semua resiko bisnis, tapi kita bisa memperjuangkan agar HUKUM TIDAk KEHILANGAN HATI NURANI. Â Klausul UANG HANGUS mungkin sah diatas kertas, tapi di hadapan keadilan, ia sering kali tampak sangat tidak manusiawi. Dan disitulah seharusnya hukum berpihak. Bukan pada kekuasaan tanda tangan, melainkan pada keseimbangan antara hak dan kemanusiaan. Bukankah hukum itu dibuat untuk menegakkan keadilan bagi seluruh manusia? Kalau hukum kehilangan hati nurani, maka keadilan pun kehilangan makna nya.
Salam,
Freddy Kwan  Â
  Â
Â
Â