Salah satu akar masalah utama banjir di wilayah Jabodetabek adalah rusaknya fungsi ekologis di kawasan hulu sungai. Oleh karena itu, rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi prioritas utama dalam strategi mitigasi. Reboisasi dan penghijauan kembali di wilayah hulu sungai, seperti kawasan Puncak, Bogor, dan Cianjur, sangat penting untuk menstabilkan daerah tangkapan air. Penanaman pohon-pohon endemik dan tanaman penahan erosi membantu menyerap air hujan secara alami dan mengurangi limpasan permukaan (run-off) yang mengalir deras ke wilayah hilir.
Selain itu, harus dilakukan penertiban terhadap bangunan ilegal yang berdiri di bantaran sungai, karena bangunan-bangunan ini menyempitkan aliran air dan memperparah potensi luapan saat debit meningkat. Penertiban ini harus disertai dengan pendekatan humanis dan program relokasi yang layak, agar warga tidak menjadi korban kedua kali karena kehilangan tempat tinggal tanpa solusi pengganti. Pemulihan kualitas air sungai juga menjadi bagian dari rehabilitasi DAS, melalui pengendalian pencemaran limbah rumah tangga dan industri, serta peningkatan kesadaran warga akan pentingnya menjaga kebersihan sungai.
2. Pengambungan Infrastruktur Resiliensi
Pembangunan fisik yang tahan terhadap bencana menjadi komponen penting dalam membangun kota yang resilien (tangguh). Hal ini tidak hanya mencakup proyek besar, tetapi juga modernisasi infrastruktur dasar kota. Pemerintah daerah perlu mempercepat pembangunan kolam retensi, embung, dan waduk buatan yang berfungsi sebagai tempat penampungan air saat curah hujan tinggi. Kolam-kolam ini dapat mencegah air langsung mengalir ke kawasan pemukiman dan memberi waktu sistem drainase untuk bekerja lebih efektif.Â
Di kawasan perkotaan, perlu dilakukan modernisasi sistem drainase perkotaan dengan mengadopsi teknologi digital seperti sensor debit air, sistem pompa otomatis berbasis Internet of Things (IoT), serta pengendali pintu air secara real-time. Sistem ini memungkinkan pemantauan dan pengendalian aliran air secara cepat, presisi, dan berbasis data. Selain itu, infrastruktur hijau seperti taman resapan, trotoar berpori, dan ruang terbuka hijau (RTH) juga harus ditingkatkan, karena berperan menyerap air hujan langsung ke dalam tanah dan mengurangi beban saluran air.
3. Peningkatan Tata Kelola Terpadu
Salah satu tantangan utama dalam penanganan banjir di wilayah Jabodetabek adalah fragmentasi kewenangan dan kurangnya koordinasi lintas wilayah administratif. Karena air tidak mengenal batas wilayah, maka tata kelola pun harus lintas batas. Solusi strategis yang perlu segera diimplementasikan adalah pembentukan satuan komando banjir lintas wilayah Jabodetabek punjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur). Komando ini bertugas mengintegrasikan kebijakan perencanaan tata ruang, manajemen air, dan kesiapsiagaan bencana antar-pemerintah daerah agar tidak terjadi saling tumpang tindih atau saling menyalahkan.
Di sisi teknologi, dibutuhkan implementasi sistem peringatan dini (Early Warning System) yang terintegrasi antara BMKG, BPBD, dan perangkat desa/kelurahan. Sistem ini harus berbasis data satelit, radar cuaca, dan sensor tanah, serta dikoneksikan ke platform digital yang bisa mengirimkan peringatan dini kepada masyarakat melalui aplikasi seluler, pesan singkat (SMS), atau sirine komunitas. Selain itu, data banjir historis, peta rawan banjir, dan proyeksi iklim jangka panjang perlu dijadikan dasar dalam menyusun kebijakan pembangunan dan perizinan wilayah baru.
4. Pendidikan dan Kesehatan Warga
Tidak ada sistem mitigasi yang efektif tanpa partisipasi aktif dari masyarakat. Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan dan kesadaran warga tentang bencana perlu ditanamkan sejak dini. Pemerintah bersama dinas pendidikan harus mengintegrasikan edukasi kebencanaan dalam kurikulum sekolah, terutama di wilayah rawan banjir. Anak-anak perlu diajarkan pemahaman dasar tentang perubahan iklim, risiko banjir, hingga prosedur evakuasi mandiri.
Di tingkat komunitas, perlu digalakkan pelatihan tanggap darurat secara berkala, termasuk simulasi evakuasi, penggunaan perahu darurat, pembuatan jalur evakuasi, dan pelatihan pertolongan pertama. RT, RW, dan Karang Taruna dapat menjadi garda depan dalam memperkuat ketahanan komunitas. Selain itu, penting untuk membangun budaya kesiapsiagaan, misalnya dengan menyediakan tas siaga bencana di rumah, memastikan saluran air sekitar tidak tersumbat, dan mengikuti informasi resmi dari BMKG dan BPBD secara rutin.