Mohon tunggu...
jenni
jenni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Sebelas Maret

Suka makan dan nonton,

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Benarkah Game Online Dapat Memicu Perpecahan?

27 Juni 2022   10:09 Diperbarui: 27 Juni 2022   10:45 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Selain berlindung di balik topeng anonimitas, game online ini seringkali membawa kecanduan tersendiri. Ibarat obat-obatan terlarang, game online juga bagaikan zat adiktif yang apabila dikonsumsi akan membuat ketergantungan dan mempunyai efek berkepanjangan, yaitu membuat orang ingin menggunakannya terus menerus.

Game online yang kian kompetitif juga turut memicu perilaku toxic. Kompetisi memang salah satu bagian penting dari keseruan suatu game. Namun di sisi lain, kompetisi juga menimbulkan perseteruan antar pemain. 

Hal ini dikarenakan kompetisi mendorong seseorang untuk mengutamakan kemenangan di atas segalanya. Keinginan untuk menang itulah yang membuat seseorang bersifat agresif dan melepaskan emosinya secara berlebihan sehingga melampiaskannya dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. 

Bagaimanapun juga, keberadaan pemain-pemain toxic di suatu game sangat mengganggu. Berawal dari ingin mencari kesenangan atau menghilangkan kejenuhan dengan bermain game online, jutsru berujung dengan penuh tekanan dan sakit hati. 

Bagaimana tidak, orang yang toxic di dalam game tidak akan segan untuk mengatakan apapun, mulai dari merendahkan kemampuan pemain lain, menghina fisik, mengejek orang tua, bahkan bisa menyangkut unsur SARA. Belum lagi jika trash-talk ini ditujukan untuk mereka yang memiliki ketahanan mental yang rendah.

Bukanlah suatu rahasia lagi, bahwa senggol-sikut mengenai SARA sudah banyak terjadi di internet, termasuk di game online. Akibatnya tidak main-main, disintegrasi sosial, konflik antar ras, bahkan dengan golongan sendiri, hanya dikarenakan tergoreng oleh perkataan oknum-oknum nakal. Dengan kata lain, benih-benih toxic inilah yang dapat melahirkan polemik di masyarakat dan bisa berujung perpecahan yang tidak diinginkan. 

Mirisnya, masih banyak orang yang tidak menghiraukan dan menganggap remeh masalah ini. Padahal sekecil apapun efek yang diakibatkan oleh perilaku toxic, baik di dunia nyata maupun di maya, tentu tidak bisa dianggap remeh. Hal ini juga didorong dengan kenyataan bahwa masih banyak orang yang menganggap lumrah masalah ini sehingga perilaku toxic ini justru semakin terlihat dimana-mana.

Lantas, bagaimana kita menghindari perilaku toxic dalam game?

Sudah seharusnya game online menjadi sarana hiburan yang menyenangkan. Jelas kita mendambakan kompetisi yang kompetitif namun tetap suportif. Oleh karena itu, kita bisa menghentikan perilaku toxic ini dimulai dari diri sendiri. Alih-alih mengumpat atau melakukan trash-talk kepada rekan tim maupun lawan, lebih baik memperbanyak mengapresiasi kinerja tim. Kita juga harus menyadari bahwa di setiap permainan ada menang dan kalah. Dan kekalahan adalah hal yang sangat wajar dalam permainan. 

Literasi dan edukasi turut menjadi bagian yang sangat penting sebagai bentuk fondasi seseorang dalam menggunakan ruang digital supaya terhindar dari perilaku menyimpang, seperti perilaku toxic. 

Jika kita belum bisa berhenti total dalam berperilaku toxic, maka  setidaknya kita dapat mengendalikan diri untuk tidak membuat dunia maya menjadi kotor yang mana dapat mengganggu orang lain. Sebisa mungkin untuk menghindari hal-hal yang memicu tindak kejahatan dan bermain sesuai porsinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun