Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hari Paling Berdarah di Myanmar, Anggota Baru dari Milk Tea Alliance

4 Maret 2021   15:56 Diperbarui: 5 Maret 2021   05:50 1906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kyal Sin atau dikenal dengan Angel yang tewas dalam demonstrasi di Myanmar | Sumber: Twitter @TostevinM via KompasTV

Bermula dari meme di Twitter, Milk Tea Alliance atau dalam bahasa Indonesia disebut Aliansi Teh Susu sekarang menyambut anggota barunya. Hong Kong, Taiwan dan Thailand menyambut Myanmar dengan seiringannya meningkatkan demonstrasi masyarakat yang tidak setuju dengan kudeta militer yang bermula pada Februari 2021.

Solidaritas lintas perbatasan ini berlangsung di tengah buruknya demonstrasi di Myanmar yang bahkan disebut sebagai Hari Paling Berdarah, bagaikan di sebuah zona perang seiringan dengan nyawa yang terus berjatuhan, di mana salah satunya adalah Kyal Sin atau dikenal dengan nama Angel.

Apa itu Milk Tea Alliance?

Walaupun dinamai sebagai sebuah alinasi dan beranggotakan beberapa negara, Milk Tea Alliance berbeda dengan alinasi resmi seperti North Atlantic Treaty Organization (NATO). 

Milk Tea Alliance atau yang juga disebut sebagai Aliansi Teh Susu bukanlah sebuah alinasi politik resmi, melainkan sebuah aliansi gerakan pro-demokrasi yang dibentuk didasari rasa solidaritas antar aktivis ataupun masyarakat.

Aliansi unik ini pertama kali mulai dikenal ketika demonstran pro demokrasi dari Hong Kong dan Taiwan ikut menyemangati demonstran di Thailand. Dengan kedatangan anggota baru, maka sekarang aliansi tersebut terdiri dari Hong Kong, Taiwan, Thailand, dan juga Myanmar.

Perlu ditegaskan walaupun para demonstran mengidentifikasi negaranya menjadi anggota Milk Tea Alliance, setiap negara memiliki tuntutan spesifik yang berbeda, walaupun secara garis besar memiliki tujuan yang sama yaitu pro-demokrasi.

Selakunya kaum milenial yang sangat bergantung dengan sosial media, dukungan Milk Tea Alliance juga dilakukan lewat sosial media seperti Twitter. Cuitan dari masyarakat antar negara ini kira-kira berisikan dukungan semangat, tanpa meninggalkan hastag #MilkTeaAlliance yang trending di Twitter beberapa waktu ini.

Demonstran di Bangkok, Thailand dalam rangka mendukung demonstran Myanmar dengan gambar Myanmar Milk Tea | Foto diambil dari Sydney Morning Herald
Demonstran di Bangkok, Thailand dalam rangka mendukung demonstran Myanmar dengan gambar Myanmar Milk Tea | Foto diambil dari Sydney Morning Herald

Penambahan susu dalam teh dan simbol anti-China

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa dari banyak hal atau nama akhirnya pilihan jatuh kepada teh susu? Apa yang spesial dari teh susu hingga menjadi nama dari alinasi 4 negara ini?

Seperti yang kita tahu, seluruh negara di Asia memiliki tradisinya masing-masing dalam menikmati teh. Selain kesamaan gejolak politik di keempat negara tersebut, mereka juga menemukan kesamaan dalam meminum teh yaitu penambahan susu dan gula didalamnya. Thailand dengan Thai Tea, Taiwan dengan Boba Tea, Hong Kong dengan Silk Stocking Milk Tea, dan Myanmar dengan Laphet Yay Cho.

Baca juga: Aliansi Teh Susu: Gerakan Pro-Demokrasi Melawan Pemerintah Otoriter

Selain persamaan tersebut, pemilihan teh susu juga dianggap sebagai sebuah simbol anti-China. Alasan ini juga didasari dengan budaya penambahan susu dan gula dalam teh, di mana di China masyarakat kebanyakan tidak menambahkan susu dan gula di tehnya.

Walaupun begitu penulis merasa teh susu sebagai simbol anti-China hanya terlihat ketika berjalannya demonstran di Hong Kong dan Taiwan. Ini mungkin menjadi bukti bahwa alasan pertama, yaitu persamaan budaya dan gejolak politik, lebih diutamakan jika melihat demonstrasi di Myanmar dan Thailand. 

Upacara pemakaman Kyal Sin atau dikenal Angel | Foto diambil dari Twitter/TostevinM
Upacara pemakaman Kyal Sin atau dikenal Angel | Foto diambil dari Twitter/TostevinM

Hari Paling Berdarah Bagaikan di Zona Perang

Terhitung sejak dimulainya kudeta militer pada 1 Februari 2021, masyarakat yang tidak setuju mulai turun ke jalan dan melakukan demonstrasi bahkan hingga artikel ini ditulis (4/3/21). 

Demonstrasi pun awalnya dimulai dengan protes damai dan tanpa menggunakan kekerasan seperti pembangkangan sipil, pemogokan buruh, gerakan memukul panci, kampanye pita merah (merah adalah warna dari partai milik Aung Sang Suu Kyi) hingga pengakuan formal masyarakat akan hasil pemilu.

Walaupun begitu, beberapa waktu ini demonstrasi di Myanmar mulai tidak kondusif seiringan dengan massa yang semakin banyak. Dari pemadaman internet dan sosial media, penangkapan dan hukuman pidana kepada demonstran, penyebaran disinformasi hingga pengunaan kekerasan pun dilakukan oleh polisi dan militer Myanmar.

Dikutip dari CNN World (4/3/21), 38 orang tewas dalam demonstrasi dan sekitar 1.200 orang ditahan. Dikutip dari Utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener menyatakan bahwa kemarin (3/2/21) adalah "hari paling berdarah di Myanmar sejak kudeta berlangsung" dan keadaan di sana seperti dalam "zona perang". 

Masyarakat internasional pun dikagetkan dengan tewasnya Kyal Sin atau biasa dipanggil dengan Angel. Berpakaian sebuah kaus dengan kalimat "Everything Will Be OK" (Semuanya Akan Baik-Baik Saja), Angel tewas tertembak peluru panas di kepalanya ketika ia mengikuti demonstrasi di Kota Mandalay, Myanmar.

Kabar tewasnya Angel pun viral di Twitter, bagaimana nasibnya yang berbanding terbalik dengan kalimat di baju yang ia pakai. Dikenal sebagai penari andal dan juara Taekwondo, ia juga ditemukan dengan kertas yang berisi golongan darahnya, nomor kontak darurat serta tulisan "Jika saya terluka dan tidak dapat kembali dengan kondisi baik, tolong jangan selamatkan saya. Saya akan mendonorkan organ tubuh saya yang masih berguna kepada yang membutuhkannya."

***

Milk Tea Alliance menjadi bukti dari solidiritas trans-nasional para demonstran yang kebanyakan adalah kaum milenial yang aktif menggunakan sosial media. Para demonstran juga membagikan berbagai taktik hingga membantu menyoroti masalah yang terjadi di negara lain. 

Ini dapat dilihat dengan demonstran yang menggunakan gaya flashmob ala demonstran Hong Kong sekaligus mengadopsi simbol-simbol Pop Culture ala demonstran Thailand. 

Dikutip dari wawancara The Diplomat dengan Ei San, seorang warga Myanmar yang sekarang tinggal di Hong Kong, ia menyatakan "Sungguh menakjubkan bahwa orang-orang di Hong Kong dan Thailand serta tetangga kami berdiri bersama orang-orang di Myanmar. Sayang sekali kudeta yang menyatukan kita, tapi sekarang saatnya kita bersatu."  

Sumber: 1, 2, 3 dan 4

Baca juga: Dari Harry Potter Hingga Bebek Karet di Demonstrasi Thailand

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun