Mohon tunggu...
Juragan Jengkol
Juragan Jengkol Mohon Tunggu... -

mencoba lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Golkar Bukan Tumbal Bisnis Ical

6 Mei 2015   07:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:20 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasca kegagalan dalam pencalonannya di Pilpres 2014, Aburizal Bakrie, bisa dikatakan sudah bangkrut baik secara bisnis maupun politik. Secara bisnis, hampir semua asset inti perusahaannya mengalami masalah hutang bahkan jauh sebelum Pilpres, sementara dalam politik Ical gagal membawa Partai Golkar mendulang keemasan meski perolehannya signifikan pada Pemilu Legislatif 2014.

Setelahnya mudah ditebak, Ical sapaan akrab Aburizal Bakrie, sangat berambisi memperhatankan posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar untuk menyelamatkan aset-aset pribadinya yang telah hancur lebur. Kalau sudah begitu, Partai Golkar hanya akan menjadi alat Ical untuk mempertahankan bisnisnya, sekaligus menjadi alat untuk posisi tawar kepentingan politiknya dihadapan pemerintah. Karenanya tidak salah jika dikatakan bahwa ambisi Ical mempertahankan Ketua Umum Partai Golkar adalah merusak Partai Golkar sekaligus kehidupan berbangsa.

Lantas seberapa parah kebangkrutan Ical ini harus diselamatkan melalui jalur politik? Mari simak beberapa catatan penting kebangkrutan Ical. Meski sempat bertengger sebagai konglomerat terkaya di Indonesia pada tahun 2007 versi majalan Forbes Asia. Padahal, pada 2009, Ical bertengger di urutan keempat dengan total kekayaan sebesar 2,5 miliar dolar AS. Pada tahun 2010, Ical juga masih berada di 10 besar dengan total kekayaan sebesar 2,1 miliar dolar AS. Di tahun 2011, Ical mulai terlempar ke urutan 30 dengan total kekayaan tinggal 890 juta dolar AS. Sejak 2012 hingga sekarang, Ical benar-benar sudah terlempar. Namanya tidak pernah muncul di daftar 50 orang terkaya Indonesia.

Kabar kebangkrutan Ical, justru datang saat ditengah kemegahan perayaan ualng tahun ke 70 dinasti bisnis Grup Bakrie tahun 2012. Sejumlah persoalan mewarnai bisnisya. Dari mulai kasus semburan Lumpur Lapindo, lilitan utang anak usahanya, perseteruan dengan Nathaniel Rothschild atas kepemilikan saham PT Bumi Resource Tbk, hingga penjualan proyek jalan tol yang dikelola PT Bakrie Toll Road, penjualan anak usaha PT Bakrieland Development Tbk, hingga kabar penjualan saham VIVA.

Kasus lumpur Lapindo yang kini berlum terselesaikan bahkan menjadi sandra politik bagi pemerintah. Sejumlah besar anggaran untuk menyelesaikan kasus Lapindo masih digelontorkan oleh pemerintah. Harta keluarga Ical telah terkuras untuk membayar ganti rugi korban semburan lumpur di Sidoarjo. Hal itu membuat aset keluarga Bakrie turun drastis. Sekitar Rp 8 triliun lebih harta Group Bakrie dikeluarkan untuk membeli seluruh aset berupa tanah dan bangunan serta biaya penanganan lumpur Sidoarjo.

Jauh sebelum Pilpres, kabar kebangkrutan Ical sudah diberitakan. Saham-saham Ical di bursa efek juga rontok. Puncaknya adalah saham aset terbebsarnya PT Bumi Resources Tbk (BUMI) turun sehingga lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's menurunkan peringkat utang jangka panjang perusahan tambang ini menjadi default alias gagal bayar.

Sementara itu, kabar penjualan saham Bakrie yang utama, PT Visi Media Asia (VIVA) yang menaungi stasiun televisi ANTV dan TVOne juga sempat berhembus. Pengusaha Chairul Tanjung dan Harry Tanoesoedibjo  bahkan sempat mebuka penawaran. Namun tampaknya perusahaan media itu masih diperhatankan sebagai etalase pada Pilpres 2014 dimana media dianggap sangat penting dalam mendongkrak popularitas dan menggiring opini publik. VIVA beruntung karena memilih mempercepat pelunasan utang senilai total US$ 220 juta (Rp 2,6 triliun) kepada Credit Suisse.

Perkembangan saat ini tampaknya lebih buruk bagi Ical. Indikator kebangkrutan Ical juga terlihat dari gencarnya aksi jual aset Grup Bakri. Salah satu perusahan yang memborong aset bisnis Ical adalah Grup Sinarmas. Tahun 2013, Sinar Mas melalui PT Bumi Serpong Damai Tbk membeli 3 hektare (ha) lahan di superblok Rasuna Epicentrum Jakarta milik PT Bakrieland Development Tbk. Sinarmas mengeluarkan  dana investasi  sebesar Rp 868,93 miliar untuk mendanai aksi korporasi terhadap bisnis kebangaan Bakrie tersebut. Tak puas sampai disitu. Pada tahun 2014, Sinarmas kembali mengambil alih mal Epicentrum Walk yang berada di Rasuna Epicentrum. Nilai investasi atas aksi korporasi itu Rp 297 miliar.

Melalui anak usaha lain yang bergerak di bisnis perkebunan, yakni Golden Agri Resources Ltd, Sinarmas juga membeli dua aset lahan sawit seluas 16.000 hektare milik PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk senilai 178 juta dollar AS. Lalu, pada akhir tahun 2014 lalu, PT Smarfren Telecom, perusahaan telekomunikasi yang dimiliki Sinarmas juga telah merangsek masuk ke Bakrie Telecom, dengan kerjasama pemakaian jaringan. Catatan terakhir performa Bakrie Telkom semakin buruk pada 2014 dengan rugi bersih perseroan tercatat Rp 2,87 triliun. Bakrie Telecom pun terpaksa mengurangi jumlah karyawan hingga 28 persen atau 400 dari 1.400 total karyawannya untuk menekan biaya operasional.

Selain itu, Sinarmas juga agresif memborong saham Grup MNC yang mengempit aset eks Bakrie. Belum lama ini, lewat Argyle Street Management Limited (ASML) Sinarmas membeli 5 persen saham PT MNC Land Tbk (KPIG). Dan, portofolio MNC Land adalah lahan eks Bakrie antara Lido Resort, jalan ton dan Bali Nirwana Resort.

Terakhir, konglomerasi yang dibangun taipan Eka Tjipta itu bersaing dengan Nathaniel Rothschild  juga berambisi menguasai saham PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU), salah satu tentakel bisnis Bakrie di pertambangan batubara. Asal tahu saja, BRAU memiliki utang senilai 950 juta dollar AS yang jatuh tempo tahun ini dan tahun 2017. Lewat ASML, Sinarmas menawar 100 persen saham Asia Resource Minerals Plc (ARMS), induk usaha BRAU.

Akhir 2014 lalu, enam emiten Grup Bakrie mencoba merestrukturisasi utang hingga US$ 5,4 miliar atau sekitar Rp 69,2 triliun pada 2015. Beberapa opsi restrukturisasi yang ditawarkan kepada kreditur antara lain konversi utang menjadi saham (debt to equity swap), perpanjangan jatuh tempo, dan penurunan bunga. Enam emiten tersebut antara lain PT Bumi Resources Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Bakrieland Development Tbk, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, PT Bakrie & Brothers Tbk, dan PT Bumi Resources Minerals Tbk. Per Juni 2014, total utang jangka pendek dan jangka emiten tersebut mencapai Rp 84,5 triliun.

Selain hutang yang menumpuk, Ical juga tampaknya kepayahan dalam memenuhi kewajiban perusahaan terhadap negara. Pada akhir 2014 lalu, Pemprov DKI menyegel Mal Epicentrum Walk (Epiwalk) di Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, karena dilaporkan menunggak pajak bumi dan bangunan sebesar Rp 8,8 miliar. Konon kabarnya, gedung Bakrie Tower sudah tidak lagi mampu membayar operasional seperti listrik, sehingga karyawan harus rela kipas-kipas sepanjang hari karena kepanasan.

Melemahnya kinerja bisnis tampaknya tak tertolong lagi. Karenanya, di tengah catatan kebangkrutan bisnis grup Bakrie, adalah penting bagi Partai Golkar untuk mengakhiri cengkraman politik Ical. Jika tidak, Partai Golkar hanya akan direduksi sebagai alat sekelompok orang untuk menjaga kepentingan bisnis dan ambisi berkuasa. Jangan sampai Partai Golkar jadi tumbal kebangkrutan Ical.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun