Mohon tunggu...
Wiranto
Wiranto Mohon Tunggu... Guru - Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang menjadi Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Hobi membaca dan menulis terutama cerita anak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Stop, Premanisme Guru

20 Maret 2019   10:17 Diperbarui: 20 Maret 2019   10:18 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Semua murid harus tenang. Tidak boleh ada suara sedikitpun. Bahkan ketika murid diminta maju untuk mengerjakan soal. Tidak boleh ada suara! Geser kursi atau meja pelan-pelan. Gerakkan tubuh perlahan. Tidak boleh ada suara! Apa yang akan murid alami jika terdengar suara, meski tak sengaja? Kuku sang guru akan menjewer telinga dan menariknya ke atas. Perih dan meninggalkan bekas. Murid meringis, guru senang."

Kisah di atas benar-benar pernah dialami penulis 29 tahun lalu. Sepertinya kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik di lingkungan sekolah, seperti yang dialami penulis, belum akan berhenti. 

Buktinya, beberapa episode kekerasan yang dilakukan guru kerap muncul di media. Sungguh sebuah perilaku yang menciderai citra guru sebagai seorang pendidik. 

Inilah guru-guru preman yang selalu "kehabisan metode" dan lebih mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan di sekolah.

Fakta mengenai kekerasan seperti ini amatlah mengejutkan. Hasil penelitian yang dilakukan UNICEF pada tahun 2006 pada beberapa daerah di Indonesia, menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada anak didik dilakukan oleh guru. 

Data terbaru dari KPAI selama tahun 2018 menunjukkan bahwa sekitar 50% kasus kekerasan di sekolah melibatkan pelajar, baik sebagai korban maupun pelaku. 

Sisanya berkaitan dengan pengajar. Sekolah dasar tercatat paling sering menjadi kekerasan, dengan persentase 50%, di susul SMA (34,7%) dan SMP (19,3%).  Fakta ini menunjukkan bahwa sekolah menjadi salah satu tempat dalam menyemaikan tindakan kekerasan.

Amatlah tidak lazim dan bertentangan dengan landasan kependidikan serta kaidah pedagogis jika kekerasan sampai terjadi di sekolah, apalagi dilakukan oleh guru. 

Sayangnya, cukup banyak guru kita yang menilai bahwa cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan anak didik (Phillip, 2007). Guru-guru ini kerap mengaitkan kekerasan dengan kedisiplinan dan menerapkannya dalam dunia pendidikan. 

Istilah "tegas" dalam membina kedisiplinan anak didik identik dengan kata "keras". Kewibawaan guru dikaitkan dengan ketakutan anak didik melalui penggunaan model pendidikan kemiliteran yang sarat akan kekerasan.

Alih-alih mendidik, dalam konteks jangka panjang, kekerasan bisa memunculkan trauma psikologis pada anak didik. Mereka menyimpan dendam terhadap guru, makin kebal terhadap hukuman, serta cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Perilaku negatif ini pada akhirnya akan menyumbang pada langgengnya budaya kekerasan di dalam masyarakat. 

Tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa kekerasan guru terhadap anak didik memberi kontribusi dalam melestarikan budaya kekerasan di negara ini.

Guru maupun kepala sekolah yang pernah mencicipi Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) pasti memahami bahwa metode dalam pembelajaran maupun pendisiplinan anak didik amatlah kaya. 

Kekerasan dalam bentuk dan alasan apapun bukanlah metode yang tepat untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran maupun upaya pendisiplinan anak didik.

Biaya yang Harus Dibayar

Perilaku guru preman harus dihentikan. Banyak biaya sosial (social cost) yang harus ditebus di masa depan. Pertama, jelas bahwa pencapaian tujuan pendidikan seperti yang termaktub dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionalpada pasal 3 tidak akan pernah tercapai. Dengan kekerasan bukan "manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" yang akan kita dapat, namun manusia berjiwa "preman" yang akan kita warisi. Hanya dengan pendidikan yang diselenggarakan secara "demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa"sesuaipasal 4 ayat 1, dipastikan tujuan itu akan tercapai.

Kedua, kekerasan hanya akan merugikan kehidupan dan masa depan guru itu sendiri. Secara hukum tindakan kekerasan guru akan diganjar setimpal sesuai pasal 80 ayat 1, 2, dan 3 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 

Alasan guru menggunakan kekerasan untuk mendidik bisa jadi mengantarkan mereka pada hukuman kurungan 3,6 tahun dan denda Rp 72.000.000,-.Hukuman akan bertambah berat jika anak didik mengalami luka berat apalagi meninggal dunia.

Pemahaman guru terhadap UU ini sangat penting agar kekerasan tidak dijadikan sebagai sarana dalam menangani anak didik. Perlu diketahui juga bahwa UU yang sama pada pasal 54 mengamanatkan bahwa,  "Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya."

Ketiga, kekerasan menjadi sebuah hidden curriculum yang mendidik anak menjadikan kekerasan sebagai solusi dalam memecahkan permasalahan. Penelitian Saptarini (2009) menunjukkan bahwa kekerasan  yang dilakukan guru kebanyakan merupakan bentuk kekerasan personal karena tidak melibatkan kondisi struktural dalam lembaga pendidikan.

Kekerasan tersebut menjadi bentuk refleksi permasalahan di luar sistem pendidikan yang dialami guru. Ini patut diwaspadai karena kekerasan sebenarnya di impor oleh guru preman dan dikembang-biakkan di sekolah (baca: direproduksi). Sementara guru yang lainnya hanya diam saja dan membiarkan perilaku kekerasan tersebut terjadi karena faktor senioritas.

Keberanian anak didik mengambil video kekerasan yang dilakukan guru secara sembunyi patut dihargai dan diacungi jempol. Tindakan tersebut merupakan bentuk ketidak-berterimaan anak didik akan penggunaan kekerasan dalam proses pendidikan di sekolah. 

Guru mesti memiliki paradigma bahwa kasih-sayang dan pengertian merupakan senjata paling ampuh dalam mendidik anak, bukan kekerasan. Alih-alih merasa dijatuhkan, pihak sekolah mesti mendukung anak didik untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh guru. Jika ini yang terjadi, episode kekerasan yang dilakukan oleh guru tak akan segera berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun