Mohon tunggu...
Jemmy Hendiko
Jemmy Hendiko Mohon Tunggu... Lecturer | Translator | Interpreter | Editor | Freelance Writer | Blogger |

Seorang pembelajar yang gemar memungut ide-ide yang bertebaran lalu mengabadikannya dalam tulisan. Lahir dan tumbuh di Talang, sebuah nagari di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Ia merampungkan studi S-2 di International Islamic University Malaysia (IIUM), sedangkan jenjang S-1 ia selesaikan di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Aktivitasnya saat ini adalah sebagai dosen, dai, penulis, penerjemah Arab-Indonesia (vice versa), penerjemah Inggris-Indonesia (vice versa), jurnalis di www.indonesiaalyoum.com, interpreter, dan editor di sejumlah penerbit di tanah air. Punya hobi menulis sejak kecil dan semakin terasah ketika menjejakkan kaki di Negeri Para Nabi, Mesir. Ia bisa dihubungi melalui akun X dan Instagram: @jemmyhendiko dan e-mail: jemmyhendiko@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sepetak Pasar Pagi dan Nenek Tua Penjual Kangkung

4 Agustus 2025   08:16 Diperbarui: 4 Agustus 2025   08:27 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber Gambar: Surabaya Today

Setiap pagi, di ujung jalan sebuah komplek perumahan, pasar kecil itu hidup. Bukan dengan gemuruh atau hiruk-pikuk seperti pasar besar di kota pada umumnya, melainkan dengan suara-suara pelan: tawa anak-anak yang berangkat sekolah, sapaan hangat antar tetangga, dan gesekan plastik belanja yang akrab.

Pasar itu buka setiap hari, setiap pagi. Tak ada libur, tak ada hari khusus. Ia seolah menjadi nadi kecil bagi warga sekitar, sebagai tempat orang mencari sayur segar, camilan rumahan, dan kadang, sekadar bertukar cerita.

Di antara para pedagang yang datang silih berganti, ada satu wajah yang tak pernah absen: seorang nenek dengan punggung sedikit membungkuk, kerudung lusuh tapi rapi, rambut-rambut putih yang sesekali menyembul di balik kerudungnya, dan tangan keriputnya yang tak pernah diam. 

Ia menata dagangannya di atas meja kecil, berupa ikat-ikat kangkung dan bayam yang masih segar, kantong plastik berisi kacang goreng gurih, serta beberapa plastik keripik pisang yang renyah. Tak dipungkiri, di setiap pasar, sosok-sosok pedagang lanjut usia seperti nenek tua itu kerap ditemukan. 

Setiap kali melihatnya, ada sesuatu yang mencubit pelan dari dalam dada.

Usianya sudah senja. Keriput di wajahnya tak bisa disembunyikan. Namun, langkahnya tetap ringan, senyumnya tetap hangat. Ia menyambut setiap pembeli dengan suara lembut yang kadang terdengar serak.

"Ayo, Nak... Sayurnya masih segar, baru petik subuh tadi..."

Kami kerap membeli darinya ketika jalan pagi berkeliling komplek dan singgah di pasar itu. Kadang sekadar dua-tiga ikat bayam atau kangkung, terkadang hanya satu plastik keripik. Tapi bukan itu yang membuat kami terus kembali. Ada keteduhan dalam kehadirannya. Seperti rumah tua yang selalu menunggu, tak peduli siapa datang atau pergi.

Namun, di sela tawa dan semangatnya, saya kerap bertanya-tanya dalam hati: Di mana anak-anaknya? Cucunya? Mengapa di usia senjanya ia masih harus duduk di tikar pasar, menanti uang receh dari dagangan yang sederhana?

Apakah mereka tinggal jauh? Atau justru terlalu dekat, tapi tak sempat menoleh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun