Mohon tunggu...
Jefrianus Tamo Ama
Jefrianus Tamo Ama Mohon Tunggu... Praktisi Hukum

Jadilah orang yang berguna dan bermanfaat untuk keluarga dan masyarakat. _____________________________________________________________________________ Pada website ini, akan berfokus memuat karya tulis tentang: Hukum, kebijakan, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tata Kelola Pemerintahan Berbasis Elektronik (E-Government)

4 Oktober 2025   05:12 Diperbarui: 4 Oktober 2025   05:25 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, pengaduan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik dapat diintegrasikan secara sistematis melalui platform digital. Salah satu contohnya adalah adanya sistem Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!), yang memungkinkan masyarakat menyampaikan keluhan, saran, atau masukan terhadap layanan publik secara langsung dan mudah. Melalui sistem ini, pemerintah dapat memantau dan menindaklanjuti aduan secara cepat dan tepat sasaran. Integrasi pengaduan ini juga memperkuat mekanisme kontrol sosial serta partisipasi publik dalam pengawasan terhadap kinerja pemerintah.

Dengan demikian, e-government bukan sekadar transformasi teknologi, tetapi juga merupakan langkah strategis dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap kebutuhan masyarakat. Melalui digitalisasi layanan publik, pemerintah dapat merespons aspirasi dan kebutuhan warga dengan lebih cepat dan tepat, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Sistem ini juga memungkinkan pengawasan publik yang lebih luas karena setiap proses dapat ditelusuri dan dipantau secara terbuka. Selain itu, dengan adanya sistem elektronik yang terstandar, potensi penyalahgunaan wewenang dapat diminimalkan karena setiap transaksi tercatat secara otomatis. Hal ini menciptakan lingkungan birokrasi yang lebih efisien, bersih, dan dapat dipercaya, serta memperkuat relasi antara pemerintah dan masyarakat dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang demokratis dan inklusif.

Dalam hal ini, perlu disadari bahwa penerapan e-government tidak selalu berjalan mulus. Meskipun membawa banyak manfaat, implementasi e-government juga menghadapi berbagai kendala yang perlu diantisipasi dan dicarikan solusinya secara komprehensif. Terdapat beberapa aspek utama yang menjadi tantangan dalam penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik, (Arief, A., & Abbas, M. Y. (2021), yakni: Pertama, kendala pada aspek infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK); Aspek ini salah satu hambatan paling mendasar adalah terbatasnya daya dukung infrastruktur TIK, terutama di daerah-daerah terpencil. Masalah seperti buruknya pengadaan dan perawatan perangkat TIK, lemahnya lingkungan teknologi yang tersedia, terbatasnya jangkauan jaringan internet, fluktuasi listrik, hingga sistem yang sering mengalami gangguan atau down menjadi tantangan utama. Tanpa infrastruktur yang stabil dan andal, layanan digital tidak dapat berjalan secara maksimal. Kondisi ini memperlebar kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan.

Kedua, kendala pada aspek sumber daya manusia (SDM); Aspek memperlihatkan bahwa SDM kurangnya kompetensi dan literasi digital di kalangan aparatur pemerintah maupun masyarakat umum menjadi hambatan serius. Banyak individu yang belum siap menggunakan layanan e-government secara mandiri karena rendahnya pengetahuan, keterampilan, atau bahkan kesadaran untuk memanfaatkan teknologi digital. Tingkat pendidikan yang rendah, minimnya pelatihan TIK, serta kurangnya motivasi dan niat dari warga untuk beralih ke sistem digital turut memperlambat proses transformasi digital ini. Untuk itu, peningkatan kapasitas SDM menjadi kebutuhan mutlak dalam mendukung keberhasilan e-government.

Ketiga, kendala pada aspek kebijakan dan regulasi; Implementasi e-government yang ideal membutuhkan kerangka kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang jelas dan mendukung. Sayangnya, seringkali terjadi kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan, lemahnya tata kelola digital, belum tersedianya regulasi yang memadai, serta belum adanya rencana strategis jangka panjang yang konsisten. Tanpa payung hukum dan arah kebijakan yang tegas, banyak program digitalisasi menjadi tidak berkelanjutan dan sulit diimplementasikan secara nasional.

Keempat, kendala dari sisi aspek ekonomi dan pembiayaan; Keterbatasan anggaran dan kurangnya skema pendanaan yang berkelanjutan menjadi penghambat utama dalam pengembangan sistem e-government. Selain itu, minimnya insentif atau motivasi bagi aparatur pemerintah untuk berinovasi di bidang teknologi juga memperlambat adopsi sistem digital. Padahal, penerapan e-government seringkali membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur, pelatihan SDM, dan pemeliharaan sistem secara berkala.

Kelima, kendala dalam aspek politik; Kurangnya dukungan politik dari para pengambil kebijakan menjadi tantangan tersendiri. Keberhasilan penerapan e-government sangat bergantung pada komitmen dan konsistensi dari elite politik dalam mendorong kebijakan strategis dan alokasi anggaran. Jika tidak ada keberpihakan atau keberlanjutan dari sisi politik, maka program e-government hanya akan menjadi proyek jangka pendek tanpa hasil yang signifikan.

Keenam, kendala geografis; Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan wilayah terpencil menyebabkan akses terhadap infrastruktur digital menjadi tidak merata. Wilayah pedesaan dan daerah kepulauan sering kali mengalami kesulitan untuk terhubung ke jaringan internet dan layanan digital lainnya. Tantangan geografis ini menuntut pemerintah untuk melakukan pendekatan khusus dan kebijakan afirmatif agar tidak ada daerah yang tertinggal dalam transformasi digital. Ketujuh, kendala dari aspek budaya; Budaya kerja dan pola pikir juga memainkan peran besar dalam keberhasilan e-government. Budaya organisasi yang kurang mendukung, seperti rendahnya disiplin, resistensi terhadap perubahan, serta pola kerja birokrasi yang masih konvensional, menjadi hambatan internal. Di sisi lain, budaya masyarakat yang terbiasa dengan pelayanan tatap muka dan belum sepenuhnya percaya pada sistem digital juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu, perubahan budaya melalui edukasi dan sosialisasi menjadi bagian penting dari proses transformasi digital pemerintahan.

SEBAGAI PENUTUP DAN KESIMPULAN: Tata kelola pemerintahan berbasis elektronik (e-governance) merupakan bentuk adaptasi pemerintah terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang lebih efisien, transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. E-governance tidak hanya berfungsi sebagai alat digitalisasi layanan, melainkan juga sebagai strategi transformasi struktural dalam penyelenggaraan administrasi publik.

Di Indonesia, perkembangan e-governance menunjukkan kemajuan yang signifikan, khususnya sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga pemerintahan Joko Widodo dan kini menuju pemerintahan Prabowo Subianto. Perkembangan ini tidak terlepas dari peningkatan infrastruktur TIK, perluasan akses internet, dan berbagai inovasi kebijakan digital yang mendukung pelayanan publik. Implementasi e-governance diwujudkan melalui berbagai program seperti SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik), e-budgeting, e-procurement, e-musrenbang, dan portal layanan publik terpadu.

Penerapan e-government memiliki sejumlah dampak positif, seperti kemudahan akses layanan publik, peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi, serta tersedianya platform pengaduan yang terintegrasi seperti LAPOR!. Selain itu, e-governance juga memperkuat prinsip-prinsip good governance, seperti efektivitas, efisiensi, partisipasi, keterbukaan, dan keadilan sosial. Namun demikian, e-governmnet juga menghadapi berbagai tantangan yang tidak dapat diabaikan. Kendala tersebut mencakup aspek infrastruktur TIK yang belum merata, rendahnya kapasitas dan literasi digital sumber daya manusia, lemahnya koordinasi dan regulasi kebijakan, keterbatasan pendanaan, minimnya dukungan politik, hambatan geografis, serta tantangan budaya kerja yang masih konvensional. Kendala-kendala ini menuntut pendekatan yang lebih strategis, kolaboratif, dan inklusif agar e-governance dapat diimplementasikan secara menyeluruh dan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun