Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Atas Tanah Retak

21 September 2011   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:45 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_131369" align="aligncenter" width="600" caption="sebuah negeri di atas tanah retak (sumber:photoo.wordpress.com)"][/caption]

Oleh JEMIE SIMATUPANG

SUDAH 2 TAHUN HUJAN TAK TURUN DI kampung itu. Sawah menjadi kering. Retak-retak. Bahkan, bulan-bulan belakangan sumur-sumur dan sungai-sungai pun tak lagi mengeluarkan dan menampung air. Kandas. Akibatnya, tanaman dan tumbuhan bermatian—sudah lebih dari 5 kali mereka tak lagi bisa menamam padi. Pohon-pohon meranggas. Ternak-ternak yang masih bisa bertahan terlihat tulang-tulang iganya, idem dito dengan manusia-manusia yang tinggal di kampung itu.

Bencana kelaparan nyata mengancam kampung yang tak disebutkan namanya itu.

Malam menjelang. Suara jangkrik merajai—seakan unjuk gigi sebagai binatang yang masih bisa bertahan sejauh ini: Krik! Krik! Krik! Kamilah makhluk unggul yang bertahan dari seleksi alam. Di sebuah rumah terdengar percakapan dua orang laki-laki.

“Pak Kades, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya seorang lelaki tua.

“Saya juga tidak tahu lagi, Pak. Saya sudah coba minta bantuan ke kabupaten, tapi sampai saat ini belum ada jawaban. Konon, di daerah lain juga terjadi kemarau panjang—sama dengan kampung kita, Pak Ustad,” jawab orang yang dipanggil Pak Kades kepada orang yang dipanggil ustad.

“Bagaimana kalau kita gelar sembahyang minta hujan, Pak!”

“Apa ada sembahyang jenis itu?”

“Ada!”

“Kalau memang ada, tak ada salahnya kita coba!”

Ketika selesai sembahyang maghrib, Pak Ustad membuat pengumuman dari pengeras suara mesjid. Setelah mengucapkan salam, ia mengundang semua warga agar besok pagi berkumpul di lapangan desa untuk sholat minta hujan berjamaah—bersama-sama.

Esoknya warga kampung itu mengadakan sembahyang berjamaah di tanah lapang yang tak lagi ditumbuhi rerumputan—bahkan berdebu.

Tapi hujan tak juga kunjung datang. Bahkan matahari tambah panas membakar—seolah sejengkal saja di atas kepala.

“Bagaimana ini Pak Ustad, kok juga belum turun hujan?”

“Kita sudah berusaha, Pak Kades, Tuhan belum lagi berkenan,”

Satu malam, yang tak penting apa nama harinya, seorang lelaki tua datang menuju rumah kepala desa. Pakaiannya hitam-hitam. Kepala desa bergegas menemui orang itu.

“Ada apa, Mbah?”

“Ini Nak Kades, saya mau urun saran, bagaimana kalau kita lakukan sedekah bumi, seperti yang dulu dilakukan oleh nenek moyang kita untuk meminta hujan,”

“Apa itu tidak syirik, Mbah?”

“Tidak, lah. Kita kan juga minta kepada Sang Pencipta!”

“Baiklah Mbah, secepatnya kita lakukan ritual itu. Untuk segala keperluannya, saya serahkan kepada Mbah!”

Dua hari berikutnya ritual sedakah bumi dilakukan. Segala macam hasil bumi yang masih ada dikeluarkan, pisang yang tak elok tumbuhnya, umbi-umbian, nasi tumpeng pun dibuat—walaupun tak lengkap karena banyak bahan-bahan yang tak bisa didapat. Lagi warga berkumpul, lalu berkeliling desa, berarak-arakan, dari lapangan, menuju kantor desa, lalu berakhir di sungai yang selama ini airnya digunakan untuk mengaliri sawah-sawah mereka.

Di sana mereka berdoa. Bermacam-macam caranya. Ada yang mengadahkan tangan, ada pula yang menyembah-nyembah stupa. Ada juga yang duduk bersemedi. Dan selesai itu makanan pun dibagi-bagikan, mereka makan bersama, dan sebagian lagi di letakkan di dasar sungai—sebagai sesajian entah kepada siapa.

Lima hari berselang, hujan tak juga kunjung datang.

Dua orang anak tujuh-delapan tahunan terlihat bermain di bawah pohon beringin—satu-satunya pohon yang masih menampakan kelagatan kehidupan di kampung itu.

“Min, kita jauh-jauhan kencing, Yok!”

“Lah, kau penasaran Mun. Kau kan tak pernah menang!?”

“Kau, takut?”

“Siapa takut. Oke ya, siapa yang menang harus menggendong yang menang, dari sini sampai ke rumah Pak Kades!”

“Oke!”

Kedua anak itu lalu membuat garis lurus, tanda berpijak. Lalu mereka berdiri berdampingan, dan segera membuka resleting celana, dan mengarahkan kelamin mereka ke akan pohon beringin. Setelah salah seorang mengaba-aba: 1…2…3…, anak-anak itu pun mulai jauh-jauhan air kencing.

Seekor katak puru, yang sedang bersembunyi dibalik akar, sedikit tertutup tanah, terganggu ketika air kencing dua anak itu membasahi punggungnya. Ia melompat, keluar dari persembunyian. Anak-anak itu terkejut, sadar kalau mereka telah mengencingi seekor katak. Kencing mereka pun mendadak berubah arah—gagallah pertandingan jauh-jauhan buang air kecil itu.

Tak lama setelah katak mengeluarkan suaranya, awan hitam datang berduyun-duyun. Langit menjadi hitam—tak ubahnya dengan malam, padahal hari masih lagi siang bolong. Kilat menyambar-nyambar. Dua anak itu pun lari cepat-cepat menuju rumah. Tak lama hujan pun turun, juga angin kencang yang disertai halilintar. Pohon-pohon tanpa daun bertumbangan, atap rumah berterbangan. Air mengisi retak tanah, semua parit, sumur, juga sungai. Air di mana-mana, melimpah.

“Tolong! Tolong! Tolong!” terdengar orang dimana-mana keluar dari rumah, mengarungi air setinggi pusar—membawa barang apa yang masih bisa dibawa.

Kini kampung itu kebanjiran! [*]

Medan, Sept 2011

JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal(-asalan) Medan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun