Mohon tunggu...
Jelly Van
Jelly Van Mohon Tunggu... Lainnya - Womanpreneur

Feet on the ground, head to the skies

Selanjutnya

Tutup

Love

Membangun Rumah Tangga yang Harmonis

20 April 2021   11:53 Diperbarui: 20 April 2021   13:24 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, artinya manusia memiliki rasa saling bergantung, membutuhkan orang lain, berinteraksi, dan mengungkapkan perasaan dan gagasan.

Dalam kehidupan sehari-hari, tak peduli dimanapun manusia akan hidup dalam kelompok-kelompok tertentu yang mengharuskan terdapat interaksi di dalam kelompok tersebut. Dengan adanya interaksi tersebut menumbuhkan persepsi dan kecocokan, hal ini juga terjadi pada relasi antar lawan jenis, yang memungkinkan timbulnya perasaan menuju hubungan kearah yang lebih intim dan serius, yakni sebuah hubungan romantis yang berkomitmen, artinya pasangan menyadari bahwa hubungan tersebut bukanlah hubungan yang dapat atau sesuka hati digantikan, adanya komitmen untuk terus bersama dan membangun hubungan dengan pasangan, contohnya ikatan pernikahan.

Pernikahan adalah penyatuan perasaan saling mencintai antara pria dan wanita untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan yang sah dan resmi, pada pernikahan tidak bisa dilihat hanya sebagai kebutuhan biologis semata, kemampuan untuk mereproduksi keturunan, tetapi juga bertindak sebagai aktivitas sosial. Saat sepasang pria dan wanita menikah dilihat dari konteksnya, akan berinteraksi dengan nilai-nilai sosial dan agama yang ada dalam masyarakat disekitarnya.

Terdapat tiga dimensi dalam hubungan romantis yang berkomitmen,terdapat passion artinya dimana seorang memiliki perasaan yang positif dan keinginan yang kuat terhadap lawan jenis, hal ini biasanya terjadi pada saat awal-awal dimana perasaan pria dan wanita mulai muncul dengan kuat, kemudian commitment artinya dalam hubungan ini pria dan wanita secara sadar untuk tetap mempertahankan sebuah hubungan. Selanjutnya, intimacy artinya perasaan yang dekat dan saling terhubung, keintiman merupakan penghubung antara commitment dan passion.

Namun, dalam sebuah rumah tangga tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar. Jika kita melihat berita di televisi, media digital, dan dalam lingkungan sehari-hari sering kita jumpai adanya perceraian antara sepasang suami istri. Perceraian saat ini terasa begitu mudah dilontarkan terutama pada pasangan-pasangan muda saat ini, seperti alasan belum mengenal pasangan dengan baik, pasangan terlalu a,b,c,d dan e dan segelintir alasan yang dilontarkan masing-masing pihak agar berujung perceraian.

Mari kita melihat pada dua kondisi yang berbeda yang biasa dihadapi oleh pasangan suami istri yang membina rumah tangga

Sumber: dreamstime.com
Sumber: dreamstime.com

Pada kasus pertama yang kerapkali terjadi misalnya seorang istri yang juga merupakan wanita karir ia memiliki keinginan untuk mencapai impiannya, namun suami tidak terlalu mendukung sang istri untuk mengejar karir dan menyuruh istrinya untuk fokus berperan sebagai ibu rumah tangga. Dalam hal ini, tentunya menjadi dilema seorang istri di satu sisi ingin memenuhi impiannya, serta dapat membantu finansial keluarga, disatu sisi lain ia harus menuruti keinginan suaminya. Tentunya, suami istri menyelesaikan perbedaan tujuan tersebut dengan saling berdiskusi, seperti kompromi dan saling memberi tanggapan atas keputusan yang dibuat.

Sumber: wartaeq.com
Sumber: wartaeq.com

Pada kasus kedua yang juga sering terjadi pada sandwich generation artinya seorang anak memiliki tanggungan untuk memenuhi kebutuhan orang tuanya, maupun adiknya. Dan disatu sisi, ia juga memiliki tanggungan terhadap keluarga intinya sendiri seperti istri dan anak. Tentunya, menjadi sandwich generation merupakan kondisi yang sulit bagi seorang anak karena ia memiliki begitu banyak tanggungan, terutama tanggungan secara finansial terhadap orang tuanya, istri dan anak. Dalam hal ini, terkadang tekanan yang begitu tinggi terhadap individu merasa stress dan terkadang jadi melampiaskan kepada istrinya, karena tidak mungkin marah kepada orang tua, maka istrinya menjadi batin dan merasa tertekan karena suami seperti melampiaskan tekanan yang diterimanya kepada istrinya. Ditambah lagi jika suami istri tersebut dihadapi dengan kondisi antara mertua, ipar, dan suami istri tersebut tinggal serumah dan ada komunikasi yang harus dikelola tiap hari tentunya menjadikan istri tersebut semakin tertekan dengan kehidupannya. Kondisi seperti ini kerapkali kita jumpai pada sandwich generation.

Tentunya kedua contoh diatas hanya segelintir kondisi yang dapat mengurangi keharmonisan dalam rumah tangga. Jika dilihat dari kacamata pandang penulis, terdapat beberapa faktor-faktor kritis yang memunculkan konflik dalam rumah tangga, antara lain:

  1. Lunturnya alasan-alasan untuk membina rumah tangga, contohnya ketika suami istri tinggal tidak serumah terlalu lama, maka akan memunculkan rasa kesepian, sehingga salah satunya merasa tidak lagi diperhatikan.

  2. Munculnya hubungan dengan pihak ketiga, salah satu pihak merasa tersakiti karena pihak yang lain mencari pemuasan dari pihak ketiga, dan munculnya rasa tidak dicintai.

  3.  Komunikasi yang tidak lancar, dalam hal ini ketika sepasang suami-istri ketika memiliki gagasan dan ide namun tidak dapat tersampaikan dengan baik kepada pasangan akhirnya perasaan tersebut dipendam dan lama-lama akan menimbulkan perasaan tertekan, dan ketika emosi bisa saja berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam menyikapi konflik-konflik dalam rumah tangga, terdapat beberapa tips yang bisa diterapkan dalam menyikapi konflik yang terjadi dalam rumah tangga, antara lain:

  1. Diperlukan komunikasi yang tepat, artinya pada saat menghadapi konflik, kedua belah pihak harus menenangkan diri terlebih dahulu dengan tidak meluapkan emosi pada saat amarah memuncak, berdiskusi dengan kepala dingin.

  2. Saling mempertahankan hubungan, artinya kedua belah pihak memiliki inisiatif untuk saling mempertahankan hubungan yang telah dibina, jika salah satu ingin menyerah terhadap hubungan tersebut maka salah satu pihak lagi harus menurunkan ego untuk bersabar, tidak terlalu membawa perasaan yang berlebihan alias “baper”.

  3. Intropeksi diri, jika terjadi konflik sebaiknya kita melihat kembali ke dalam diri kita dan berusaha untuk memperbaiki diri.

Pelajaran berharga adalah sebuah komitmen itu bukanlah sesuatu hal yang bisa dipermainkan, pada saat kita memutuskan untuk serius menuju kata “pernikahan” tentunya sudah ada resiko yang harus kita terima baik dalam suka dan duka, hal ini perlu kita terapkan ke pasangan-pasangan masa kini untuk tidak terlalu mementingkan egonya dan merasa bisa hidup sendiri, karena pernikahan bukan hanya komitmen kita terhadap pasangan namun juga janji suci yang kita ikrarkan atas nama Tuhan.

Jika kita mulai belajar dalam menangani konflik dan bersabar diri dalam menghadapinya, tiada kata lain selain sabar, dan semoga kita makin mendewasakan diri ya.

Terimakasih dan salam 

Referensi:

Wood, Julia T. 2010. Interpersonal communication: everyday encounters. Wadsworth.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun