Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Belajar sepanjang hayat. Kesempurnaan hanya milik Allah swt

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buruk Muka Cermin Dibelah, Demi Siapa?

6 Maret 2024   23:36 Diperbarui: 6 Maret 2024   23:38 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengeras suara / https://www.nu.or.id

Menjelang bulan suci Ramadan, Menteri Agama Gus Yaqut  berpesan agar umat Islam dalam syiar Ramadhan tetap memedomani Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Edaran pengeras suara yang  terbit pada 18 Februari 2022 lalu berisi antaran lain mengatur volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus desibel). Khusus terkait syiar Ramadan, edaran ini mengatur agar penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Alquran menggunakan Pengeras Suara Dalam.

Sementara untuk takbir Idulfitri di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam. (Republika.co.id, 6/3/2024).

Kaburnya Makna Ukhuwah Islamiyah

Di beberapa poin lainnya dalam surat edaran itu juga disebutkan imbauan agar umat Islam menjaga toleransi atas perbedaan penentuan Ramadan dan Idul Fitri.


Kemudian pada poin delapan dituliskan materi ceramah Ramadhan dan Khutbah Idul Fitri disampaikan dengan menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah, mengutamakan nilai-nilai toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa, serta tidak bermuatan politik praktis sesuai dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 09 Tahun 2023 tentang Pedoman Ceramah Keagamaan.

Sungguh tak sekali ini pernyataan menteri agama kita menyakiti kaum Muslim. Selalu menjadi sasaran pihak yang intoleran, pemecah belah dan bukannya bina ukhuwah, bahkan pernah menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing, nauzubillah, air liur anjing itu najiz mengapa justru menyamakan dengan sesuatu yang najiz?

Ramadan adalah saat  yang tepat dan sudah  seharusnya menjadi momen syiar Islam bisa lebih digaungkan, volume pengeras suara malah harus diredam. Padahal, umat juga ingin mendapat pahala dari sekadar mendengarkan lantunan Al-Qur'an ataupun syiar Islam melalui pengeras suara di masjid-masjid sekitar.

Jika pun suara pengeras suara dari masjid dianggap mengganggu, bukankah pendirian masjid itu sudah berdasarkan kesepakatan seluruh warga di sekitarnya? Jika pun ingin diatur, mengapa seolah memojokkan kaum Muslim sebagai trouble maker? Sungguh tak adil, terlebih karena keluar dari lisan seorang muslim.

Apalagi sejarah kita sendiri membuktikan bahwa musala atau masjid dengan pengeras suara untuk melafalkan ayat-ayat suci Alqur'an atau azan sudah menjadi bagian dari khazanah budaya Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim.

Banyak sekali masyarakat Indonesia--nonmuslim sekalipun--yang begitu mengagumi dan menyukai suara azan dari pengeras suara masjid yang bersahut-sahutan. Bahkan, tidak jarang yang justru mendapatkan hidayah dan menjadi mualaf karena mendengarkan syiar Islam.

Tentu pernyataan pejabat negara yang demikian tidak lahir dari kebersihan hati dan kedalaman berfikir. Lebih mirisnya Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, mengapa yang mayoritas malah ditekan dan menjadi obyek penderita dari yang minoritas?

Bagaimana dengan gereja yang dijaga, kasus pembakaran masjid saat Idul fitri di Tolikara, Papua, pada 2015 lalu oleh oknum Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang entah tak berkabar lagi keputusan hukumnya? Bagaimana pula dengan pelarangan hijab bagi pelajar muslimah di Bali dan Nusa Tenggara, dan lainnya. Semua kasus itu tidak pernah mendapat label isu intoleransi. yang membuktikan pengurus urusan agama di negeri ini telah kehilangan identitasnya sebagai muslim.

Mereka lebih bangga dikatakan modern dalam berIslam dengan mengadu domba saudara seakidah. Menyebutkan mereka yang berjuang menerapkan syariat, baik dalam bentuk kajian, khutbah, pergerakan dan lainnya sebagai anti persatuan bahkan hingga teroris.

Inilah yang disebut sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan. Islam hanya diambil yang mudah atau berkaitan dengan ibadah pribadi. Sedangkan pengaturan untuk masyarakat yang lebih luas menggunakan hukum manusia atau pendapat orang yang lebih berkuasa.

Para pengusung sekulerisme ini begitu takut Islam berjaya, sehingga sebisa mungkin syiar Islam dihambat, selain setan yang tidak suka yang Haq siapa lagi jika bukan kafir? Atas nama toleransi dan demi dianggap muslim yang berpikiran global, mereka justru menjadikan dirinya kehilangan jati diri sejati.

Sebaiknya Fokus Pada Persoalan Besar Kaum Muslim

Idulfitri dirayakan dengan meriah di Makkah dan Madinah. Takbir dikumandangkan menggunakan pengeras suara di masjid. Hal ini sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw.. Beliau melakukan takbir mulai dari Magrib hingga menjelang pelaksanaan salat Idulfitri.

Dan para sahabat Rasul yang kemudian melanjutkan kepemimpinannya sebagai kepala negara Islam ( khilafah) pun mengadakan syiar Islam dengan besar-besaran. Tetap dalam koridor syariat.

Jangan ajari kaum Muslim arti toleransi dan persatuan. Masyur ketika Umar bin Khattab pulang dari perjalanannya dan memasuki gerbang kota Madinah. Di sana ia melihat seorang pria tua sedang meminta-minta, Umar bertanya mengapa setua ini malah meminta-minta. Pria tua yang ternyata kafir dzimmi itu mengatakan karena Umar (Khalifah) menetapkan jizyah atasku, ketika muda tidak berat, namun ketika usiaku semakin tua aku tak sanggup lagi bekerja dan menghasilkan uang.

Seketika Umar mengantar pria itu ke Baitulmal dan meminta penjaga Baitulmal untuk mendata pria tua itu dan menetapkan selamanya sebagai penerima santunan dari negara.

Maka, bukankah sebaiknya kembali pada persoalan pokok negeri ini yang berputar dalam penderitaan dan bencana karena sistem sekuler yang diterapkan? Yaitu kapitalisme dan demokrasi yang selamanya tak bisa menghasilkan perubahan hakiki. Bukan muslim yang menjadi sasaran, tapi justru kapitalisme dan demokrasi inilah yang harus dicabut.

Sebab keduanya bukan berasal dari Allah dan justru haram meninggalkan hukum-hukum Allah sebagaimana firmanNya yang artinya, "Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (TQS at Thaha: 124). Wallahualam bissawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun