Mohon tunggu...
Jelita Septiana
Jelita Septiana Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS MK Jurnalistik Cetak Jelita Septiana (44) B

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Ngopi di Atas Trotoar

12 Oktober 2025   18:43 Diperbarui: 12 Oktober 2025   18:43 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kota Solo dikenal sebagai salah satu kota ternyaman di Jawa Tengah. Kata orang, siapa pun yang pernah ke Solo pasti ingin kembali lagi. Suasananya hangat, warganya ramah, dan ritme hidupnya tidak secepat kota besar lain. Namun, di balik kesan "nyaman" itu, Solo kini mulai berubah terutama di mata generasi muda, Gen Z.

Solo semakin padat. Saat akhir pekan, hampir di setiap sudut kota terlihat ramai dan macet. Salah satu titik terpadat tentu saja Jalan Slamet Riyadi, jalan utama yang menjadi ikon kota. Siapa pun yang melewati jalan ini pasti merasakan vibes-nya hidup, ramai, dan penuh warna. Di sepanjang jalan itu kini berjajar coffee shop dengan konsep yang beragam mulai dari yang estetik bergaya Korea, industrial minimalis, hingga yang menyatu dengan budaya Jawa.

Bagi Gen Z, nongkrong di coffee shop bukan sekadar minum kopi. Ini tentang experience, aesthetic, dan tentu saja eksistensi di media sosial. Tak jarang, rasa takut ketinggalan alias FOMO (Fear of Missing Out) membuat mereka rela antre demi bisa duduk di kafe yang sedang viral. Satu foto dengan background dinding bata atau lampu gantung bisa berarti likes baru, validasi sosial, atau sekadar bukti "aku juga pernah ke sini."

Namun, di balik ramainya budaya nongkrong ini, muncul fenomena baru yang menuai perhatian yaitu trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki kini berubah fungsi menjadi tempat duduk dan meja pelanggan kafe.

Beberapa coffee shop di Jalan Slamet Riyadi memanfaatkan ruang publik ini untuk memperluas area duduknya. Akibatnya, pejalan kaki sering merasa tidak nyaman. Trotoar yang semestinya aman dan lega kini terasa sempit, bahkan membuat orang sungkan lewat karena harus menembus kerumunan orang yang sedang nongkrong.

Fenomena ini menarik, karena memperlihatkan dua sisi Solo yang sedang bertumbuh. Di satu sisi, geliat bisnis kuliner dan kreativitas anak muda Solo patut diapresiasi. Kafe-kafe ini bukan sekadar tempat ngopi, tapi juga wadah ide, tempat kerja freelance, ruang diskusi, bahkan tempat healing bagi sebagian orang. Mereka menciptakan wajah baru bagi kota Solo yang lebih modern dan terbuka terhadap tren global.

Namun di sisi lain, penggunaan ruang publik tanpa batas menimbulkan persoalan etika kota. Ketika trotoar dipenuhi meja dan kursi, hak dasar warga untuk berjalan kaki jadi terabaikan. Kota yang seharusnya nyaman untuk semua orang perlahan berubah menjadi ruang eksklusif yang lebih ramah bagi konsumen daripada pejalan kaki. Ini bukan cuma soal "nongkrong di mana," tapi tentang siapa yang sebenarnya punya hak atas ruang kota.

Gen Z sering disebut generasi yang melek teknologi, kreatif, dan peduli lingkungan. Tapi ironisnya, kadang kita juga jadi bagian dari masalah itu sendiri, karena lebih memilih tempat yang "instagramable" daripada yang benar-benar ramah publik. Kita tahu trotoar itu seharusnya untuk jalan kaki, tapi tetap duduk di situ karena "tempatnya bagus buat story." Kita tahu parkiran penuh, tapi tetap datang karena takut ketinggalan momen nongkrong bareng teman.

Sebenarnya, ini bukan hanya soal coffee shop. Ini cerminan dari budaya FOMO dan gaya hidup urban Gen Z yang tumbuh di tengah persimpangan antara tradisi dan modernitas. Solo sebagai kota budaya kini dihadapkan pada generasi baru yang punya cara berbeda menikmati ruang dan waktu. Mereka ingin tetap lokal, tapi juga global. Ingin ngopi santai, tapi juga eksis.

Lalu, di mana letak "kenyamanan" Solo yang dulu dikenal orang? Mungkin masih ada, tapi semakin sulit ditemukan di tengah lalu lintas padat dan deretan kafe penuh pengunjung. Kenyamanan itu kini harus dicari ulang, bukan hanya di ruang-ruang ber-AC, tapi di kesadaran kita untuk berbagi ruang dengan sesama warga kota.

Solo yang dikenal sebagai kota ramah kini menghadapi tantangan baru yakni menjaga keseimbangan antara ekonomi kreatif dan etika ruang publik. Mungkin sudah saatnya pemerintah dan para pelaku usaha duduk bersama, bukan untuk membatasi kreativitas, tapi untuk menata ulang batas penggunaan ruang bersama. Karena trotoar bukan milik siapa pun, tapi milik semua orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun