Dulu, saat aku masih tinggal di kampung bersama keluarga, hidup terasa begitu ringan. Tidak ada beban besar yang harus kupikul. Semua terasa aman karena ada orang tua di sampingku. Aku belum mengenal apa itu kesulitan seperti mencari uang, bekerja keras, atau menghadapi tantangan hidup yang nyata.
Namun, seiring waktu aku dewasa, aku harus merantau ke kota dan tinggal di asrama. Di sanalah aku belajar banyak hal yang tidak pernah kutemukan di kampung.
Hidup di asrama ternyata tidak semudah yang terlihat dari luar. Memang, selalu ada teman di sekitar, suasana ramai, dan tawa yang terdengar dari kamar ke kamar.Â
Namun di balik keceriaan itu, tersimpan juga tantangan, gesekan, dan pergumulan batin. Tinggal di asrama mengajarkanku bagaimana menghadapi orang-orang dengan berbagai karakter, bertahan dalam keterbatasan, hingga belajar menemukan ketenangan di tengah keramaian.
Hari-hari di asrama tidak pernah benar-benar sepi. Ada yang sibuk belajar, ada yang bercanda sampai larut malam, ada pula yang suka bercerita panjang lebar tentang hidupnya.Â
Namun, suasana yang ramai itu kadang berubah menjadi tekanan canda yang berlebihan, kata-kata yang menyakitkan, atau perbedaan kecil yang berkembang menjadi masalah besar. Saat-saat seperti itu sering membuatku lelah. Tetapi aku tahu, semua ini adalah bagian dari perjalanan yang harus aku jalani.
Kesulitan terbesar hidup di asrama bukan sekadar soal antre kamar mandi atau berbagi ruang tidur. Tantangan yang sesungguhnya datang dari interaksi dengan orang lain: bagaimana menghadapi teman yang mudah tersinggung, bagaimana menahan diri untuk tetap rendah hati ketika merasa benar, dan bagaimana menjaga hubungan meski hati sedang terluka. Semua itu adalah ujian yang nyata.
Namun perlahan, aku mulai menyadari sesuatu. Setiap masalah yang datang justru membawa pelajaran berharga. Aku belajar bahwa setiap orang membawa luka dan cerita masa lalunya masing-masing. Mereka bertindak dengan cara tertentu bukan tanpa alasan. Ketika aku mencoba melihat dari sudut pandang itu, rasa kesal mulai berganti dengan pengertian, dan kemarahan perlahan berubah menjadi empati.
Di asrama pula aku menemukan arti kebersamaan yang sesungguhnya. Ada saat-saat ketika aku merasa jatuh, lelah, bahkan ingin menyerah. Tetapi di momen itulah hadir teman-teman yang merangkul, memberi motivasi, dan saling peduli.
 Kami memang sama-sama berjuang menghadapi kesulitan, hanya saja cara Tuhan mendewasakan kami berbeda-beda. Dari hal-hal kecil itu aku belajar, bahwa hidup bukan hanya tentang diriku, melainkan tentang kita yang saling menopang.
Setiap kesulitan di asrama membentukku menjadi pribadi yang lebih sabar. Aku belajar menahan ego, mendengarkan, dan mengalah tanpa merasa kalah. Hidup berasrama melatihku menerima perbedaan, menemukan harmoni di tengah keberagaman, dan memahami bahwa di balik luka selalu ada ruang untuk bertumbuh.
Kini, ketika aku menoleh ke belakang, aku menyadari bahwa semua masalah yang pernah kuhadapi bukanlah batu penghalang, melainkan pijakan yang membuatku melangkah lebih kuat. Asrama adalah sekolah kehidupan yang tidak tertulis di buku pelajaran. Dari sana aku belajar arti toleransi, kesabaran, keteguhan hati, dan yang terpenting: menemukan makna di balik setiap kesulitan.