Baginya, Sentra Wisata Kuliner (SWK) semestinya jadi rumah kedua bagi pecel semanggi. Di sana, kuliner ini tidak sekadar bertahan hidup, tapi mendapat panggung yang layak, layaknya selebritas kuliner kota.
Lebih jauh lagi, Fathoni bahkan membayangkan simbiosis baru antara teknologi urban dan kearifan lokal. Ia membayangkan semanggi ditanam dengan metode hidroponik oleh warga kota, dan difasilitasi oleh pemkot melalui pemanfaatan lahan-lahan tidur.
Dengan begitu, suplai bahan utama tidak lagi tergantung dari satu-dua kawasan seperti Benowo, tapi menyebar dan terhubung dengan dapur-dapur pecel di seluruh kota.
Tapi sejauh ini, semua itu baru sebatas wacana. Pecel semanggi tetap berjalan kaki, karena melintasi zaman yang makin terburu-buru. Ia hadir di pojok-pojok kota, menunggu yang sudi berhenti sejenak dan mengenang rasa yang mulai terpinggirkan.
Surabaya boleh saja berambisi jadi kota megapolitan berbasis budaya, tapi jika tidak bisa menjaga semanggi tetap hidup di lidah warganya sendiri, maka itu hanya sebatas slogan.
 Jangan sampai nanti, satu-satunya tempat untuk mencicipi pecel semanggi adalah di museum kuliner atau lebih tragis lagi dalam bentuk emoji yang dikirim ibu-ibu lewat WhatsApp keluarga. Karena, kota yang hebat bukan hanya yang tinggi gedungnya, tapi yang tahu caranya merawat akar budaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI