Mohon tunggu...
Jelajahpedia
Jelajahpedia Mohon Tunggu... Mijelajah Tour Consultant

Teman jelajah yang menghadirkan cerita travel, kuliner, dan budaya dengan bahasa hangat nan orisinil, mengundang Anda untuk menapaki langkah, mencicip rasa, dan menyelami kisah di balik setiap destinasi—sebab kami percaya, hidup terlalu singkat untuk menua tanpa cerita.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Pecel Semanggi: Kuliner Legendaris Surabaya yang Terancam jadi Artefak

23 Juli 2025   22:03 Diperbarui: 1 Agustus 2025   22:11 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Pecel Semanggi Khas Surabaya (Sumber: Pinterest/Debora Doodoh)

Surabaya mungkin sudah terlalu kenyang dengan puja-puji untuk rawon dan bebek goreng. Tapi sebelum menyebut kota ini surganya kuliner, coba sejenak tengok satu nama yang pelan-pelan menghilang dari ingatan kolektif warganya: Pecel Semanggi.

Kuliner satu ini perlahan menjelma jadi peninggalan arkeologis, lebih sering dibahas di seminar budaya ketimbang ditemukan di rak etalase makanan.

Disajikan dengan pincuk daun pisang, pecel semanggi tampil sederhana: semanggi, toge, kangkung, dan bunga turi bertemu dalam satu harmoni, disiram bumbu kacang legit yang berpadu dengan ubi atau ketela rebus, gula jawa, dan cabai.

Dan jangan lupakan pendamping utamanya; kerupuk puli. Bentuknya kotak, kuning menyala, kriuknya bisa menggoyang relung hati paling sunyi. Kalau belum mencoba kombinasi ini, jangan ngaku warga Surabaya sejati, ya!

Aroma dan rasanya seperti doa nenek moyang yang dituang dalam bentuk sajian sederhana. Tapi semua itu kini lebih sering terdengar sebagai nostalgia ketimbang kenyataan kuliner sehari-hari. Bukan karena rasanya tidak lagi relevan, tapi karena kota ini seperti kehilangan daya cium terhadap aromanya sendiri.

Di tengah gegap gempita kopi latte art kekinian dan ayam geprek level 10, pecel semanggi kini terdorong ke pojok sejarah. Generasi muda tampaknya lebih akrab dengan avocado toast daripada pincuk semanggi. Pecel semanggi tidak instagenik karena terlalu primitif bagi feed Instagram. Atau mungkin juga karena berdagang dengan jalan kaki bukanlah life goal ala Gen Z.

Ironi ini kian menyakitkan jika mengingat bahwa di balik sajian ini; ada puluhan hingga ratusan perempuan tangguh yang masih berjalan kaki, memikul dagangan seberat koper internasional, menyusuri trotoar kota dari pagi hingga sore.

Situasi ini tidak luput dari perhatian akademisi dan wakil rakyat. Prof. Rindawati dari Universitas Negeri Surabaya sejak lama menekankan bahwa pecel semanggi bukan cuma soal rasa, tapi juga menyangkut identitas budaya, relasi sosial, dan memori kolektif warga kota.

Ia percaya, makanan ini bisa hidup kembali jika dikemas secara modern tanpa harus mencabut akarnya. Bagi Rinda, semanggi adalah kuliner yang seharusnya bisa 'menyeberang zaman', dari pincuk ke kemasan food-grade, dari emperan ke etalase digital.

Sementara itu, Arif Fathoni, Wakil Ketua DPRD Surabaya, meyakini bahwa pelestarian kuliner tradisional bukan sekadar tugas ibu-ibu tangguh di jalanan. Kota ini perlu hadir secara aktif, bukan cuma lewat jargon 'pelestarian budaya', tapi dengan menciptakan ekosistem nyata.

Baginya, Sentra Wisata Kuliner (SWK) semestinya jadi rumah kedua bagi pecel semanggi. Di sana, kuliner ini tidak sekadar bertahan hidup, tapi mendapat panggung yang layak, layaknya selebritas kuliner kota.

Lebih jauh lagi, Fathoni bahkan membayangkan simbiosis baru antara teknologi urban dan kearifan lokal. Ia membayangkan semanggi ditanam dengan metode hidroponik oleh warga kota, dan difasilitasi oleh pemkot melalui pemanfaatan lahan-lahan tidur.

Dengan begitu, suplai bahan utama tidak lagi tergantung dari satu-dua kawasan seperti Benowo, tapi menyebar dan terhubung dengan dapur-dapur pecel di seluruh kota.

Tapi sejauh ini, semua itu baru sebatas wacana. Pecel semanggi tetap berjalan kaki, karena melintasi zaman yang makin terburu-buru. Ia hadir di pojok-pojok kota, menunggu yang sudi berhenti sejenak dan mengenang rasa yang mulai terpinggirkan.

Surabaya boleh saja berambisi jadi kota megapolitan berbasis budaya, tapi jika tidak bisa menjaga semanggi tetap hidup di lidah warganya sendiri, maka itu hanya sebatas slogan.

 Jangan sampai nanti, satu-satunya tempat untuk mencicipi pecel semanggi adalah di museum kuliner atau lebih tragis lagi dalam bentuk emoji yang dikirim ibu-ibu lewat WhatsApp keluarga. Karena, kota yang hebat bukan hanya yang tinggi gedungnya, tapi yang tahu caranya merawat akar budaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun